Disebut Pintu Masuk Terorisme, Apa Itu Wahabi Dan Salafi? - HWMI.or.id

Saturday 3 April 2021

Disebut Pintu Masuk Terorisme, Apa Itu Wahabi Dan Salafi?

 Disebut Pintu Masuk Terorisme, Apa itu Wahabi dan Salafi?


Apa Itu Wahabi dan Salafi? Disebut Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Sebagai Pintu Masuk Terorisme


Belakangan hari, duka cita kembali menimbuni perasaan bangsa. Belum lagi tuntas Pandemi Covid-19, teror bom bunuh diri meledak di Makassar.

Dalam rangka merespon, Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH. Said Aqil Siroj berkomentar, “jika kita betul-betul serius memberangus Terorisme, maka biang atau pangkalnya yang harus dicerabut, yakni Wahhabi dan Salafi”.

Wahhabi sejatinya adalah gerakan pemikiran salah satu etnis Arab. Yaitu dakwah Islamiah yang digagas oleh suku Nejd, dipelopori Muhammad bin Abdul Wahhab at-Tamimi al-Najdi (w. 1206 H./1791 M.).

Sayangnya, pemikiran keagamaan ini diorientasikan mendukung kepentingan politik seorang Amir yang ambisius kekuasaan, Muhammad bin Sa’ud, yang sedang berjuang menyebarkan ideologi Salafi dan mempertahankan kekuasaan yang meliputi Jazirah Arab, Yaman, Syam, Iraq (Dhohir, 1993).

Salafiah dengan demikian berbeda dari Wahhabi. Salafi adalah ideologi, atau bisa disebut visi-misi sebuah gerakan.

Sedangkan Wahhabiah adalah gerakan, dengan tokoh-tokoh intelektual maupun massa pendukungnya. Sebagai sebuah ideologi, Salafi mengajarkan pemurnian agama (purifikasi).

Sebagai sebuah gerakan, Wahhabi menempuh strategi-strategi yang merusak (destruktif), radikal, dan cenderung menimbulkan teror (Blanchard, 2008:21).

Korban awal gerakan Wahhabi ini adalah masyarakat Iraq, bahkan Madinah. Banyak makam-makam ulama dan situs-situs arkeologis yang dihancurkan di awal penyebarannya.

Bahkan, makam Rasulullah Saw sempat jadi target pembongkaran.

Ada indikasi gerakan Wahhabi yang mengusung ideologi Salafi didanai oleh Kerajaan Arab Saudi kala itu. Istilah ini digunakan demi menaklukkan seluruh wilayah Islam di dunia dan tunduk di bawah politik-agama Arab Saudi.

Korban pertamanya adalah hancurnya Khilafah Utsmaniyah atau Turki Usmani. Negara pertama yang merdeka dari Turki Usmani adalah Kerajaan Arab Saudi (‘Imarah, 2007:41).

Asia Tenggara adalah target penaklukan berikutnya. Banyak dana digelontorkan untuk mendukung program kerja agen-agen pribumi, yang menopang ideologi Salafi dan mengendarai gerakan Wahhabi.

Sampai di sini, Salafi-Wahhabi cenderung memerankan fungsi kolonialisme, yakni mengkoloni negara-negara Asia Tenggara, terutama Indonesia sebagai target.

Jika di dalam upaya penaklukan tersebut terkendala teknis, semisal nilai-nilai budaya lokal yang begitu kuat, maka penyelesaian teknis berupa anarkisme, destruktifisme, dapat dilakukan. Ini latar belakang Salafi-Wahhabi cenderung disebut radikalis, fundamentalis, atau Jihadis (Alvi, 2014).

Dalam wujud lain, Wahhabi-Salafi bermetamorfosa menjadi gerakan Islamic State (IS/ISIS). Lincoln Clapper menulis artikel “Wahhabism, ISIS, and the Saudi Connection,” yang dengan cukup bagus menganalisa dan menemukan hubungan erat Wahhabi, ISIS.(Geopoliticalmonitor, 31 Januari 2016).

Melalui sepak terjang ISIS ini, Wahhabi menjelma terorisme. Menurut Clapper, ISIS mengadopsi semua pemikiran Wahhabi.

ISIS yang mengadopsi gerakan Wahhabi menelan banyak korban, baik penghancuran situs-situs Islam di syuriah maupun pembunuhan para alim ulama sunni terkemuka, antara lain: Syekh Muhammad Adnan Al Afyouni (Mufti Damaskus), Syekh Said Ramadhan Al Buthi (Ketua Kesatuan Ulama Syam), Syekh Adnan Sho’ab (Imam Masjid Muhammadi), Syekh Hasan Bartawi (Imam Masjid Imam Nawawi), Syekh Muhammad Ahmad Auf Shadiq (Imam Masjid Anas Bin Malik), dan Syekh Abdul Latif Al Syami (Imam Masjid Aminah). Dengan kata lain, terorisme dan organisasi teroris lahir dari gerakan Wahhabi-Salafi.

Sebagian kelompok menyadari aspek-aspek politis tersebut, pada saat sebagian besar tidak menyadarinya. Kelompok yang sadar berusaha memisahkan diri dari gerakan Wahhabi, dengan tetap mempertahankan ideologi Salafi.

Kelompok ini tetap bertahan memperjuangkan puritanisme Islam, melalui gerakan purifikasi namun tidak mendukung Jihadisme, yaitu pandangan bahwa dakwah harus ditempuh dengan cara-cara radikal-ekstrim (Azzouzi, 2008:56).

Semenjak Salafi memisahkan diri dari Wahhabi, purifikasi Islam tidak berbahaya, karena Salafi menekankan pada perbaikan moralitas umat, peningkatan kuantitas ibadah Sunnah, dan siap berdialog dengan keragaman.

Tetapi tidak bagi Wahhabi-Salafi. Kelompok Wahhabi bersembunyi di balik topeng Salafi, lalu menyusupkan ideologi kekerasan.

Karenanya, kaum Salafiyun (pendukung Salafi) berdakwah secara lemah lembut, tetapi Wahhabiyun atau Wahhabi-Salafi berdakwah secara radikal.

Hal lain yang juga penting membedakan kelompok Salafi dan kelompok Wahhabi-Salafi adalah aspek ekonomi-budayanya. Wahhabi-Salafi berbahaya bukan saja karena gagasan yang mereka usung, melainkan proyek kolonialisasi yang mereka lakukan.

Di tataran permukaan, yang bisa dicermati kasatmata, Wahhabi-Salafi adalah gerakan kekerasan. Tetapi, aspek di balik panggung yang tidak mudah dicermati adalah aspek aliran dana internasional.

Atas berbagai alasan, relasi ekonomi ini menghubungkan antara kelompok Wahhabi-Salafi lokal dengan jaringan global mereka (Bahgat, 2004).

Berbeda halnya dengan gerakan Salafi murni. Dasar ketulusan hati mereka dalam mendakwahkan paham Salafisme menjadi alasan mereka menolak hal-hal berbau politik, apalagi kepentingan material-duniawiah.

Gerakan Salafi ini murni demi menegakkan akhlak individual maupun sosial. Sasaran dakwah Salafiyah ini adalah kebobrokan moralitas umat.

Tentu saja mereka tidak akan pernah mendakwahkan moralitas dengan cara-cara yang immoral, tidak bermoral. Sedangkan Wahhabi-Salafi tidak peduli hal ini.

Salah satu bukti kasatmata Wahhabi-Salafi yang tidak peduli pada moralitas bisa dilihat dari ketidakpedulian mereka pada citra Islam secara menyeluruh.

Ini bisa bisa dilihat dalam kasus ISIS dan gerakan destruktif di berbagai belahan dunia, walaupun berdampak menciderai wajah Islam maupun umat muslim pada umumnya.

Sesuatu yang mereka anggap benar akan dilakukan walaupun salah di mata mayoritas muslim. Di titik inilah, Wahhabi-Salafi cenderung mengarah pada gerakan absolutisme.

Alhasil, upaya-upaya deradikalisasi memang benar seperti dikatakan oleh Ketum PBNU, Kiai Said, bahwa harus diberangus dari akarnya, yakni Wahhabi-Salafi. Namun begitu, catatan pentingnya, ada banyak variabel yang harus digunakan.

Pertama, Wahhabi-Salafi bercirikan kekerasan (violence) dalam berdakwah. Kedua, Wahhabi-Salafi bertulang punggung pada jaringan pendanaan asing. Ketiga, Wahhabi-Salafi mengusung absolutisme.

Dari berbagai variabel tersebut, melawan kekerasan sejak dalam pikiran adalah paling penting. Umat muslim diajarkan bahwa kekerasan bukan karakter alamiah manusia, melainkan sebuah proyek Globalis yang memanfaatkan agama.

Proyek globalis ini hanya akan berakhir bila topangan finansial asing di stop total. Segala kedok kemanusiaan perlu diverifikasi, jangan sampai ditunggangi menjadi pintu masuk bagi pendanaan ekstrimisme, radikalisme, fundamentalisme.

Puncaknya, kesadaran tentang pentingnya keragaman yang harmonis menjadi hilir bagi semua proyek deradikalisasi. Wallahu a’lam bishawab.

Penulis:

KH. Imam Jazuli, Lc. MA.

Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia, Cirebon.

Refferensi:

Abdelhak Azzouzi, Itsna ‘Asyara Qornan fi Hayati Mamlakah, (Afrika: Harmattan, 2008).

Christopher M Blanchard, The Islamic Traditions of Wahhabism and Salafiyya, (New York: Nova Publisher, 2008).

Gawdat Bahgat, “Saudi Arabia and the war on terrorism,” Arab Studies Quarterly, 51-63, 2004.

Hayat Alvi, “The diffusion of intra-Islamic violence and terrorism: The impact of the proliferation of Salafi/Wahhabi ideologies,” Middle East Review of International Affairs (Online) 18 (2), 38, 2014.

Muhammad ‘Imarah, al-Istiqlal al-Hadhori, (Mishro: Dar Nahdhah Mishr, 2007).

Muhammad Kamil Dhohir, ad-Da’wah al-Wahhabiah wa Atsaruha fil Fikri al-Islami al-Hadits, (Qahiroh: Dar al-Salam, 1993).

Bagikan artikel ini

Silakan tulis komentar Anda