Perang Saudara Dimasa Khilafah - HWMI.or.id

Tuesday 6 April 2021

Perang Saudara Dimasa Khilafah

Pada masa Khilafah jaman old terdapat sejumlah perang saudara sesama umat Islam. Daftarnya bisa sangat panjang. Korbannya juga mereka yang mengucapkan dua kalimat syahadat. Umumnya perang saudara terjadi karena perebutan kekuasaan baik secara lagsung maupun tidak langsung.

Inilah fitnah, dalam konteks ini maksdunya adalah ujian berupa perang saudara sesama kaum muslim. Mari kita lihat data sejarah soal ini.

Fitnah pertama kali adalah yaitu pada saat pemberontakan yang mengakibatkan terbunuhnya Khalifah Utsman bin Affan, saat membaca al-Qur’an di rumahnya. Madinah dikuasai pemberontak beberapa hari sehingga jenazah Khalifah Utsman dikubur berjauhan dari makam Nabi Muhammad, Abu Bakar dan Umar bin Khattab.

Kemudian disusul terjadinya perang saudara antara Sayyidina Ali dengan Siti Aisyah (perang Jamal). Saat perang Jamal di Bashrah, tidak kurang dari 18.000 sahabat gugur Perang antara istri Nabi dan menantu Nabi ini baru berakhir setelah kaki-kaki unta itu ditebas dengan pedang kemudian Siti Aisyah dipulangkan ke Madinah.

Kejadian berikutnya adalah Imam Ali berperang dengan Mu’awiyah (perang shiffin). Kitab Tarikh al-Khulafa Imam Suyuthi bercerita bagaimana dengan cerdik pasukan Mu’awiyah yang hampir kalah mengangkat Mushaf al-Qur’an di ujung pedang mereka dan meminta perundingan. Ali bin Abi Thalib paham bahwa ini hanya taktik belaka dan meminta pasukannya terus menggempur Mu’awiyah. Namun atas nama mencintai mushaf al-Qur’an pasukan Ali menjadi ragu melanjutkan pertempuran. Taktik kotor Mu’awiyah berhasil. Terjadilah gencatan senjata dan perundingan yang berakhir tragis untuk pasukan Khalifah Ali, sang menantu Nabi.

Periode fitnah pertama di atas berakhir dengan perdamaian antara Sayyidina Hasan dan Mu’awiyah. 

Fitnah kedua berlangsung pada periode pembantaian Sayyidina Husain di Karbala dan berlanjut dengan perlawanan Abdullah bin Zubair. Imam al-Thabari dalam kitab Tarikhnya menceritakan dengan detil berpuluh-puluh halaman apa yang terjadi di Karbala, dan mencatat siapa saja keluarga Sayyidina Husein yang terbunuh lengkap dengan menyebutkan siapa pembunuh maisng-masing, pada 10 Muharram di Karbala. Kepala cucu Nabi dipenggal.

Dilaporkan pula oleh Imam Thabari bahwa Abdullah bin Zubair, penguasa Mekkah saat itu, dibunuh oleh pasukan al-Hajjaj dengan cara kepalanya dipenggal dan tubuhnya disalib. Dan pasukan al-Hajjaj lantas berteriak mengumandangkan takbir.

Lalu, periode peperangan antara al-Walid II dan Yazid III dikenal dalam sejarah islam sebagai fitnah ketiga, yang berakhir dengan naiknya Marwan II sebagai Khalifah terakhir Umayyah. Kepala al-Walid II dipenggal oleh pasukan Yazid, yang kemudian mengambil alih posisi Khalifah. Setelah dipenggal, atas perintah Yazid, kepala al-Walid II ditusuk diujung tombak dan diedarkan ke jalan raya dan pasar di Damaskus, bahkan sengaja dibawa ke bekas rumah ayahnya. 

Tindakan ini memicu kegeraman keluarga al-Walid II. Dinasti Umayyah terpecah belah akibat pertikaian internal mereka sendiri yang dipicu oleh kelakuan buruk al-Walid II.

Yang paling mengkhawatirkan untuk Marwan II adalah pemberontakan yang dilakukan oleh kelompok Abbasiyah. Kelompok ini dipimpin oleh Abul Abbas bin Abdullah as-Saffah. Pemberontakan dimulai dari Khurasan. Dipimpin oleh Abu Muslim, jenderal pengikut setia Abul Abbas. 

Penduduk Khurasan mulai membaiat Abul Abbas sebagai Khalifah. Kubu Abbasiyah ini mengambil legitimasi dari jalur keluarga Nabi Muhammad, yaitu keturunan Abbas, paman beliau SAW. Keluarga Nabi yang pada masa Dinasti Umayyah tersingkirkan menemukan momentum untuk masuk ke kekuasaan.

Dalam pertempuran di dearah Zab, pasukan Marwan II bertemu dengan pasukan gabungan dari Abbasiyah, Syi’ah dan penduduk Persia, yang dipimpin oleh Abdullah bin ‘Ali (paman dari Abul Abbas). Marwan II berhasil dikalahkan. Marwan sempat melarikan diri ke Syira dan kemudian kabarnya ke Mesir. Pasukan Abbasiyah dibawah kontrol Shaleh, saudara Abdullah bin Ali, kemudian berhasil menemukan Marwan II dan membunuhnya.

Transisi kekuasaan dari Dinasti Umayyah ke Dinasti Abbasiyah terjadi lewat pertumpahan darah. Salah satu bentuk kekejaman Abul Abbas (Khalifah pertana Abbasiyah) adalah dengan mengundang jamuan makan kepada keluarga Bani Umayyah yang tersisa. 

Abul Abbas membunuh Sulaiman bin Hisyam bin Abdul Malik dengan tangannya sendiri, dengan cara menariknya keluar dari meja makan. Ini juga dilakukan terhadap 90 orang Bani Umayyah lainnya: dijamu makan, lantas dibantai habis. Bahkan tubuh mereka yang masih menggelepar ditutup dengan permadani, dan as-Saffah dan keluarganya melanjutkan makan malam di atas permadani. Begitu Ibn al-Atsir dalam al-Kamil fit Tarikh menceritakan kekejian ini.

Pada masa Abbasiyah pula telah terjadi perang saudara. Periode pertempuran antara kedua putra Harun ar-Rasyid di masa Dinasti Abbasiyah, antara al-Amin dan al-Ma’mun, disebut-sebut sebagai fitnah keempat. Peperangan ini berlangsung pada tahun 811 – 813 Masehi.

Perang saudara juga terjadi pada periode berikutnya yaitu selama setahun antara al-Mu’tazz dengan pamannya, Khalifah al-Musta’in, membawa al-Mu’tazz ke tahta kekuasaan. Musta’in yang dipaksa mengundurkan diri, tidak lama kemudian kepalanya pun dipenggal. Khalifah ketiga belas Abbasiyah Al-Mu’tazz naik berkuasa dengan lumuran darah.

Daftar ini masih panjang. Di masa sistem khilafah ini, ternyata membawa perang saudara sesama umat Islam seperti tercatat dalam literatur klasik semisal Tarikh Thabari dan Tarikh Khulafa Imam Suyuthi.

Sejarah ini harus membuka pikiran kita, bahwa seolah sistem tertentu itu begitu damai, bersih dan solusi bagi kita, umat dan Islam. Seolah tanpa sistem itu ke-islam-an kita belum benar-benar muslim. 

Harus diakui, sistem demokrasi pun berdarah-darah. Tapi setidaknya mereka tidak membunuh atas nama al-Qur’an dan Hadits. 

Dan yang terpenting, sistem demokrasi kita ini terus memperbaiki diri. Kekuasaan dibatasi, rule of law ditegakkan, dan hak asasi warga negara diberi jaminan. Tidak ada larangan ibadah, tidak ada larangan adzan, kecuali fitnah. Dimanapun; di mal-mal, di gedung-gedung perkantoran, kita masih bisa sholat dan mendengar adzan. Cara berpakaian pun tidak dilarang. Piara jenggot dan kumis pun tidak dilarang. 

Khilafah misalnya, sebagai ijtihad masa lalu, sudah pernah dijalankan. Dan tidak harus kembali dengan sistem itu. Dan sudah tidak relevan pula. 

Kita di Indonesia, berkat ijtihad para ulama terdahulu, telah memilih sistem negara bangsa (nation-state). Kita harus jaga dan rawat hasil ijtihad ulama kita ini agar terus memberikan aliran pahala yang tidak putus kepada mereka. Dan jangan berusaha memutus amal jariyah mereka dengan mengganti dengan sistem lain.

Daripada memelihara ekspektasi terhadap hasil ijtihad pada sistem khilafah, lebih baik kita syukuri dan terus mengirim doa pada ulama-ulama yang telah meninggalkan legacy yang kita nikmati sampai saat ini. 

Jangan lagi kita koyak tenunan kebangsaan yang merupakan anugrah ilahi untuk kita syukuri, dengan memasarkan sistem lain atau sistem khilafah yang akan memecah belah bangsa ini.

#KhazanahGNH

#KomunitasSantriGusNadirsyahHosen

#HubbulWathonMinalIman

Bagikan artikel ini

Silakan tulis komentar Anda