Agama Baha'i dan Ajaran Tentang Kemanusiaan - HWMI.or.id

Wednesday 28 July 2021

Agama Baha'i dan Ajaran Tentang Kemanusiaan

Agama Baha’i dan Ajaran Tentang Kemanusiaan

Penulis: Ayu Alfiah Jonas

Agama Baha’i adalah salah satu agama dengan jumlah penganut sebenarnya tidak sebanyak agama-agama besar lain di dunia. Meski begitu, kehadiran agama Baha’i diakui sebagai masyarakat agama. Hal ini ditulis oleh Siti Nadroh dan Syaiful Azmi dalam buku Agama-agama Minor (2013).

Eksistensi Baha’i yang masih berkembang hingga saat ini adalah fenomena keagamaan yang menarik sekaligus unik di seluruh penjuru dunia. Umat Baha’i tercatat tersebar dan bertempat tinggal di 191 negara dan 46 wilayah teritorial. Mereka semua berasal dari berbagai kepercayaan yang berlainan, bahkan bertentangan.

Majelis Rohani Nasional Bahai Indonesia pada 2013 mencatat bahwa umat Baha’i adalah orang-orang yang mulanya beragama Buddha, Yahudi, Islam, Zoroaster, Hindu, Protestan, Katolik dan tidak jarang ada yang sebelumnya tidak menganut agama sama sekali.

Kesemuanya kemudian menemukan sesuatu dalam ajaran Baha’i yaitu apa yang dapat mempersatukan mereka dan menjadikan mereka saudara-saudara yang saling mencintai.


Sejarah Kemunculan

Agama Baha’i muncul pertama kali di Iran (Persia) pada abad ke-19 dan dibawa oleh seorang pedagang muda yang bernama Bab yang hidup pada tahun 1819 sampai dengan 1850. Ajaran Baha’i kemudian diturunkan kepada seseorang yang bernama Baha’ullah, hidup pada tahun 1817 sampai dengan 1892.

Baha’ullah kemudian di kirim ke Konstantinopel, Adrianople, dan ke Acre di israel. Di sana, ia menjadi tahanan. Pada abad ke-20, ajaran Baha’i diteruskan oleh putra dari Baha’ullah yang bernama Abdu’l Baha dan menjadi satu-satunya ahli tafsir dari wahyu yang diturunkan oleh Tuhan kepada Baha’ullah.

Masa-masa tersebut diyakini sebagai masa suri tauladan bagi umat Baha’i. Setelah Abdu’l Baha wafat, maka kepemimpinan umat otomatis dilimpahkan kepada cucu tertua dari Baha’ullah yaitu Shoghi Effendi yang kemudian ditunjuk sebagai Wali pada tahun 1897 sampai dengan 1957.

Setelah Shoghi Effendi, wafat kepemimpinan umat diserahkan kepada Balai Keadilan Sedunia pada tahun 1963. Agama Baha’i adalah agama yang independen dan bersifat universal, bukan sekte dari agama lain atau bagian dari agama lain.

Baha’i memiliki tujuan spesifik yakni untuk mewujudkan tranformasi rohani dalam kehidupan manusia dan memperbaharui lembaga-lembaga masyarakat berdasarkan prinsip keesaan Tuhan, kesatuan agama-agama, dan kesatuan umat manusia.


Ajaran Agama Baha’i

Dalam ajaran Baha’i, pada tanggal 23 Mei 1844, menandai suatu era baru dalam sejarah manusia. Seorang pembawa wahyu yang dijanjikan Tuhan telah hadir untuk menjadikan perdamaiaan dan keselarasan yang akan didirikan di bumi.

Fajar hari yang baru itu menyaksikan munculnya tidak hanya satu, tapi dua Perwujudan Tuhan. Kata “mewujudkan” artinya memunculkan, menyingkapkan sesuatu yang sebelumnya tidak diketahui.

Para Perwujudan Tuhan adalah orang-orang khusus yang menyampaikan firman dan kehendak Tuhan kepada manusia yaitu Sang Bab dan Baha’ullah. Agama Baha’i pertama muncul di Iran pada abad 19.

Dalam ajaran Baha’i, sejarah keagamaan dipandang sebagai suatu proses pendidikan bagi umat manusia melalui para utusan Tuhan, yang disebut “Perwujudan Tuhan”.

Baha’ullah adalah Perwujudan Tuhan untuk zaman ini. Ia mengaku sebagai pendidik ilahi yang telah dijanjikan bagi semua umat manusia dan yang di nubuatkan dalam agama-agama sebelumnya.

Baha’i adalah agama yang terorganisir yang menyatakan bahwa misi atau tujuan utamanya adalah untuk meletakkan pondasi bagi persatuan seluruh umat manusia.

Pada kurun zaman Sang Bab dari tahun 1844 hanya berlangsung selama Sembilan tahun. Tujuan utamanya adalah mempersiapkan jalan bagi kedatangan Sang Suci Baha‟ullah pembawa Wahyu Tuhan yang dijanjikan itu.

Walaupun singkat, namun kurun zaman Sang Bab mempunyai kehebatan rohani yang begitu besar sehingga pengaruhnya dapat dirasakan selama beratus-ratus generasi mendatang.


Ajaran Tentang Kemanusiaan

Seperti ajaran agama-agama lain, Baha’i juga memiliki ajaran kemanusiaan yang disandarkan kepada para pemeluknya. Ajaran kemanusiaan Baha’i antara lain berasal dari sabda Baha’ullah sebagai berikut:

“Tujuan dasar yang menjiwai keyakinan dan Agama Tuhan ialah untuk melindungi kepentingan umat manusia dan memajukan kesatuan umat manusia, serta untuk memupuk semangat cinta kasih dan persahabatan di antara manusia.” (Baha’ullah).

Sabda tersebut adalah landasan para pemeluk Baha’i dalam memperlakukan manusia, bahwa kepentingan setiap individu harus dilindungi untuk meyakini ajaran Tuhan, seperti apa yang diajarkan oleh Baha’ullah.

Artinya, manusia menjadi prioritas untuk dimuliakan dalam sabda dan agama Baha’i. Ajaran Baha’i erat dengan kemanusiaan sehingga mendapat perhatian dari dunia internasional.

Atas dasar kemanusiaan tersebut, Baha’i pun berhasil mendapat pengakuan Persatuan Bangsa-bangsa (PBB) sebagai agama yang independen pada tahun 1970 dengan ditandai oleh terbentuknya Baha’in International Community (BIC).


Baha’i di Indonesia

Di Indonesia, agama Baha’i menjadi pembahasan yang menarik karena minimnya pengetahuan masyarakat tentang agama ini. Dalam beberapa kesempatan, Baha’i telah dibahas oleh beberapa tokoh diantaranya adalah sebagai berikut:

Lukman Hakim Saifuddin yang pada waktu itu masih menjabat sebagai Menteri Agama. Melalui suratnya pada 24 Juli 2014 menyebutkan bahwa agama Baha’i adalah agama, bukan aliran. Surat tersebut juga menjelaskan bahwa Baha’i telah berkembang di Indonesia.

Baha’i tercatat memiliki umat lebih dari 700 orang dengan komunitas yang tersebar di wilayah Sumatera Utara, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi Timur, dan Bali.

Baha’i bisa masuk ke Indonesia karena Baha’i adalah agama yang mapan. Agama yang mulai masuk ke Indonesia pada tahun 1878 ini dibawa oleh pedagang dari Persia dan Turki yang bernama Jamal Effendy dan Mustafa Rumi di pulau Sulawesi.

Kemudian, ajaran Baha’i pun menyebar ke beberapa tempat lain di wilayah Nusantara. Salah satu tempat tersebut adalah daerah Pati, Jawa Tengah, tepatnya di Desa Cebolek, Kecamatan Margoyoso.

Tempat tersebut dekat sekali dengan Desa Kajen yang mayoritas penduduknya Muslim. Tak hanya itu, Desa Kajen juga menjadi basis pondok pesantren di kawasan Pati, Jawa Tengah.

Para pemeluk agama Baha’i di Desa Cebolek telah hidup bertahun-tahun dan berdampingan dengan masyarakat yang berbeda agama dan menjadi minoritas yang hidup diantara banyak mayoritas Muslim di desa tersebut dan sama sekali belum terjadi konflik.[]

Sumber: bincangsyariah.com

(Hwmi Online)

Bagikan artikel ini

Silakan tulis komentar Anda