Waspada Jebakan Jargon HTI (1)!
Oleh: Zakiyal Fikri Mochammad
Dalam menjalankan visi dan misinya, HTI menggunakan strategi yang terorganisir dan amat masif. Bagaimana tidak, semua gerakan dakwahnya sehingga menjadi partai politik Islam besar, itu dimulai dari kelas bawah hingga kelas atas. Tepatnya dari tingkatan nusrah dan hizib hingga “menyusup” ke pelbagai lembaga, instasi, sekolah-sekolah pesantren bahkan biokrasi dengan menularkan spirit penegakkan khilâfah dan daulah islâmiyyah kepada para kader dan simpatisan mereka. Setidaknya ada tiga tahapan strategi yang mereka gunakan. Pertama, tahap tatqîf (pembinaan dan pengkaderan). Kedua, tahap tafâ’ul ummah (berinteraksi dengan umat). Ketiga, tahap istikmâlul hukmi (penerimaan hukum) untuk menerapkan syariat Islam secara legal-formal.
Selanjutnya, melalui ketiga tahapan dakwah tersebut, HTI dengan terbuka melancarkan aksinya supaya cita-cita dan manifesto gerakannya dapat terwujud sesuai rencana. Ada sekian manifesto yang menjadi visi utama HTI ini, sebagaimana disebutkan dalam buku mereka, Manifesto Hizbu Tahrir Untuk Indonesia: Indonesia, Khilafah dan Penyatuan Dunia Islam. Yakni mulai dari konsep khilafah ajaran Islam, kedaulatan syariah, khilâfah adalah solusi umat dan lain sebagainya.
Menariknya, hampir di setiap manifesto tersebut selalu dibumbui dengan jargon-jargon agama sehingga siapapun orangnya akan menganggap bahwa dakwah mereka benar-benar berdalil, absah, dan diakui oleh agama. Maka tidak heran bela kemudian banyak yang bergabung dengan suka rela bahkan sampai menjadi simpatisan yang fanatis untuk ormas yang ikutinya itu. Nah, di bawah ini akan dipaparkan beberapa bentuk manifesto yang kerap dijadikan “brand” dakwah HTI dalam menstimulus kader-kadernya.
Salah satu jargon HTI yang perlu diwaspadai adalah "Jargon “khilâfah ‘alâ minhajin nubuwwah” . Sebagaimana dimaklumi bahwa visi utama HaTeI adalah menyuarakan semangat kembalinya khilâfah islâmiyyah sebagai warisan Nabi dan janji Allah untuk masa depan. Yang melandasi pernyataan ini adalah riwayat hadis dari Imam Ahmad tentang khilâfah ‘alâ minhajin nubuwwah yang akan lahir kelak di akhir zaman. Hadis tersebut berbunyi,
عَنْ حُذَيْفَةَ بْنِ الْيَمَانِ رضي الله عنه قَالَ إِنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم قَالَ: تَكُوْنُ النُّبُوَّةُ فِيْكُمْ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ تَكُوْنَ، ثُمَّ يَرْفَعُهَا تَبَارَكَ وَتَعَالَى إِذَا شَاءَ، ثُمَّ تَكُوْنُ الْخِلاَفَةُ عَلىَ مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ فَتَكُوْنُ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ تَكُوْنَ، ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا، ثُمَّ يَكُوْنُ مُلْكًا عَاضًّا فَتَكُوْنُ مُلْكًا مَا شَاءَ اللهُ، ثُمَّ يَرْفَعُهُ إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهُ ثُمَّ تَكُوْنُ مُلْكًا جَبْرِيَّةً، ثُمَّ تَكُوْنُ خِلاَفَةً عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ ثُمَّ سَكَتَ. قَالَ حَبِيبٌ فَلَمَّا قَامَ عُمَرُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ وَكَانَ يَزِيدُ بْنُ النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيرٍ فِي صَحَابَتِهِ فَكَتَبْتُ إِلَيْهِ بِهَذَا الْحَدِيثِ أُذَكِّرُهُ إِيَّاهُ فَقُلْتُ لَهُ إِنِّي أَرْجُو أَنْ يَكُونَ أَمِيرُ الْمُؤْمِنِينَ يَعْنِي عُمَرَ بَعْدَ الْمُلْكِ الْعَاضِّ وَالْجَبْرِيَّةِ فَأُدْخِلَ كِتَابِي عَلَى عُمَرَ بْنِ عَبْدِ الْعَزِيزِ فَسُرَّ بِهِ وَأَعْجَبَهُ.“
Rasulullah bersabda: “Di era kalian terdapat zaman kenabian. Atas kehendak Allah kenabian itu ada lalu diangkat oleh Allah atas kehendakNya pula. Lalu akan ada Khilafah yang mengikuti jalan kenabian atas kehendakNya lalu diangkat atas kehendak-Nya pula. Kemudian akan ada kekuasaan zalim; ia ada atas kehendakNya dan akan diangkat atas kehendaNya. Kemudian akan ada kekuasaan diktator; ia ada atas kehendakNya dan akan diangkat atas kehendaNya. Kemudian akan ada Khilafah yang mengikuti jalan kenabian. Lalu Nabi diam.” (HR. Ahmad).
Dari hadis ini, seperti dalam buku Manifesto Hizbu Tahrir Untuk Indonesia, Mahâfahim Hizbu Tahrîr, Daulah Islâmiyyah, HaTeI mendemonstrasikan kepada masyarakat bahwa khilâfah merupakan sistem pemerintahan Islam yang wajib ditegakkan, sebab hal itu merupakan janji Allah seperti dalam sunah rasul-Nya. Dengan penuh keyakinan, mereka “menghasut” masyarakat untuk mengakui sekaligus mengikuti demontrasi tersebut. Bila tidak menjalakannya, maka termasuk pelaku dosa besar. Dengan lantang mereka mengatakan,
“Khilâfah adalah sebuah kekuasaan yang. menerapkan syariah Islam secara kaffah (menyeluruh). Merupakan sebuah kebutuhan bagi umat Islam untuk mengangkat seorang khalifah yang akan memimpin daulah khilâfah dan menerapkan syariah Islam secara kaffah. Maka, tegaknya daulah khilâfah adalah sebuah kewajiban, dan setiap kelalaian dalam upaya untuk menegakkannya merupakan dosa besar."
Pertanyaan selanjutnya adalah: apakah memang demikian maksud hadis di atas sebagaimana yang dipahami kelompok HaTeI tersebut?. Untuk menemukan jawabannya, kita perlu menelisik secara cermat status hadis riwayat Imam Ahmad di atas. Dan ternyata, hadis ini terdapat problem cukup serius dari segi sanad dan matannya. Demikian kata Nadirsyah Hosen dalam tulisannya “Sekali Lagi Soal Hadis “Khilafah ‘Ala Minhajin Nubuwwah”. Itulah mengapa, tegasnya, hadis ini hanya ada Musnad Imam Ahmad. Sanad hadis ini bermasalah sebab ada rawi bernama Habîb bin Salîm yang dinilai cacat oleh al-Bukhârî sehingga beliau sendiri banyak tidak mengambil riwayat darinya.
Kemudian dari segi matannya pun bermasalah, karena redaksi ثُمَّ تَكُونُ خِلَافَةٌ عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ diduga adalah kalimat dari Habîb bin Salîm yang sengaja ditambahan dalam rangka untuk menyenangkan khalifah Umar bin Khatab yang saat itu beliau tengah menjabat sebagai amîrul mukmîn. Jadi, sejatinya hadis ini menginformasikan tentang kebangkitan mahdiyyah yang dipimpin oleh Imam Mahdi kelak di akhir zaman, sebagaimana pendapat mayoritas ulama Aswaja, bukan khilâfah tahrîriyyah sebagaimana klaim kelopok HaTeI di atas.
Alhasil, jargon khilafah ala manhajin nubuwwah" ala HaTeI di atas sejatinya tidak lebih dari sebuah hasutan politis yang dibalut dengan embel-embel agama. Sebab telah mengaburkan aspek historis asbabul wurud di mana hadis itu berlaku dan memaksakan klaim penafsiran paling absah tanpa memperdulikan realitas sosial yang ada.
(Hwmi Online)