Pendapat Habib Ali Al-Jufri Tentang Hukum Bermain Musik - HWMI.or.id

Tuesday 3 August 2021

Pendapat Habib Ali Al-Jufri Tentang Hukum Bermain Musik

Pendapat Habib Ali Al-Jufri Tentang Hukum Bermain Musik

Penulis: Neneng Maghfiro

 perdebatan tentang hukum bermain musik selalu diperbincangkan di kalangan umat Muslim. Hal ini juga diulas dalam sebuah Seminar Ilmiah di Delta University for Science and Technology, Talkha, Mesir, yang diisi oleh Habib Ali al-Jufry.

Dalam forum tersebut, Habib Ali al-Jufri menjelaskan bahwa tidak ada kesepakatan hukum bermusik yang ditemukan dalam pendapat ulama empat madzhab. Bahkan, tambahnya, dalam satu madzhab pun tidak ada kata sepakatan atas haramnya musik. Perbedaan pendapat antar para ulama soal mendengarkan musik itu adalah perbedaan yang kuat dan diakui bahkan di antara para sahabat Nabi.

Perlu diketahui, terdapat banyak riwayat yang menjelaskan bahwa pada masa Nabi, musik termasuk sesuatu yang tidak dilarang. Bahkan diperbolehkan dalam acara-acara hari raya atau perayaan pernikahan, bahkan dalam kegiatan sehari-hari.

Habib Ali al-Jufri kemudian menceritakan sebuah riwayat tentang Abdullah bin Ja’far bin Abi Thalib, suami Sayyidah Zainab Ra. Bahwa dahulu beliau mendirikan majelisnya di dekat pembantu-pembantu perempuannya yang bersenandung untuk beliau dengan alat musik. Riwayat tentang menantu nabi ini masyhur di kalangan masyarakat Hijaz.

Dalam riwayat lain, Rasulullah Saw dikisahkan sedang mendengarkan rebana yang dibawakan gadis-gadis yang bernyanyi bersama Aisyah di dalam rumah Rasulullah saat hari raya. Mereka bernyanyi sambil menabuh rebana kemudian Abu Bakar masuk dan berkata, “Apa pantas suara setan ada di dalam rumah Rasulullah?”

Abu Bakar bermaksud menghentikan mereka, mendengar itu Rasulullah Saw yang sedang istirahat lalu beliau terbangun dan membuka selimut, kemudian bersabda, “Biarkan mereka wahai Abu Bakar, ini hari raya.”

Di lain kesempatan, Umar bin Khattab saat hari raya melihat orang-orang Afrika menari-nari dalam masjidnya Rasulullah sambil memainkan senjata, dalam tiga riwayat dalam kitab Imam Bukhari Muslim dikatakan mereka menari zafin, sementara dalam riwayat Imam Nawawi dijelaskan mereka menari sambil memainkan busur panah di dalam masjid. Menari dengan memainkan senjata merupakan budaya orang Afrika.

Tapi Rasulullah Saw menyaksikan tarian mereka. Dalam tarian tersebut mereka juga menyanyikan pujian untuk Rasulullah dengan bahasa Afrika yang artinya; Muhammad adalah orang baik.

Tapi Sayyidina Umar mengambil kerikil sambil berkata, “Apa yang kalian lakukan dalam masjid.” Lalu Rasulullah bersabda, “Wahai Umar, ini hari raya.” Kalau dalam riwayat lain Rasulullah bersabda, “Wahai Umar mereka ini suku Anjasyah,” maksudnya ini budaya mereka.

Sebenarnya orang Arab Makkah, tidak mengenal budaya menari di tempat yang disucikan, seperti orang Afrika yang memiliki budaya menari di tempat yang mereka muliakan. Ini merupakan pesan Rasulullah kepada Umar untuk menghargai budaya orang lain. Teguran Rasul terhadap Umar ini mengandung pesang, salah satunya agar orang yahudi tahu bahwa agama Islam itu fleksibel. Menghormati ‘urf (tradisi) termasuk dalam ajaran Islam.

Dalam riwayat lain diceritakan Rasulullah menoleh pada aisyah yang tengah berada di kamarnya, beliau berkata, “Wahai aisyah apa kamu mau menonton pertunjukan mereka?” Aisyah berkata, “Iya rasulullah aku mau menonton mereka.” Rasulullah berdiri di pintu dan Aisyah berdiri di belakangnya sambil menonton lalu selang beberapa saat Rasulullah menoleh, “Apa cukup Asiyah?” Aisyah menggeleng, “Belum Rasulullah saya masih mau menonton.”

Aisyah menceritakan dalam riwayat tersebut, “‘sampai aku bosen,’ Sedang Rasulullah masih berdiri, kemudian aku letakkan pipiku di bahu Rasulullah lalu Rasulullah membawaku masuk ke kamar.”

Berdasarkan riwayat-riwayat di atas, jelas Habib Ali al-Jufry, terdapat lebih dari 30 para imam ulama besar Ahli Sunnah wal Jamaah dari empat madzhab yang berpendapat bahwa mendengarkan alat musik hukumnya tidak bergantung pada alatnya. Akan tetapi hukumnya tergantung pada efek yang timbul pada yang mendengarkan itu.

“Jika mendengarkan alat musik tersebut berdampak positif pada diri orang tersebut maka mendengarkannya pun positif,” jelasnya.

Salah satu ulama yang berpendapat demikian di antaranya Imam Ghazali, salah satu ulama terbesar, pakar fikih dalam madzhab syafi’i. Seorang ulama yang telah melahirkan banyak karya di antaranya kitab al-Basith, al-Wasith, al-Wajiz. Bahkan beliau punya kitab al-Mustasyfa dalam bidang ushul fiqih yang terbilang sebagai kitab ushul terkuat dalam madzhab syafi’i.

Sejumlah ulama besar juga berpendapat demikian, “lalu apakah ini ajakan terbuka untuk kaum milenial agar mendengarkan lagu? tidak, tapi ini ajakan untukku dan untukmu agar tidak menyempitkan hal yang luas,”

Habib Ali Al-Jufri berharap agar umat Muslim mengambil dari luasnya perbedaan para ulama ini untuk menumbuhkan kepekaan dalam diri. Boleh mengikuti pendapat ulama yang membolehkan mendengarkan musik selama berdampak baik, dengan tujuan untuk memantau kepekaan diri. Terlebih jika lagunya berlirik; Dia memanggilku aku menjawabNya, aku datangi pintuNya, saat Dia pancarkan cahayaNya ku panggil dia dengan air mataku. (Lagu Ummi Kulsum)

Jadi sebelum memutuskan tentang hukum haramnya musik, maka perlu diketahui bahwa orang yang mendengarkan musik itu ada tiga tipe. Pertama tipe komposer, mereka yang setiap mendengar musik telinganya selalu fokus pada notasi, apakah nada, kord, dan harmoni antara alat musiknya menyatu atau tidak.

Kedua tipe yang menghayati makna. Menghayati makna tersebut bisa menggerakkan hatinya untuk rindu kepada Allah yang menciptakan keindahan yang terdengar dari gabungan suara alat musik dengan suara manusia. “Bahkan mendengarkan lagu itu tidak haram jika itu menjadi perantara kembalinya seseorang yang nyaris putus dengan tunangannya,” jelas Habib Ali.

Ketiga tipe pendengar yang karena mendengarkan musik ia jatuh pada larangan agama. Seperti berzina dan mabuk-mabukan. Yang mana itu alasan sebagian ulama mengharamkan musik. Sebab dahulu umumnya pada masa para ulama tersebut musik identik dengan miras dan praktek seksual.

Yang dilarang adalah jika suara dan alunan serta getaran musiknya itu berdampak negatif bagi orang yang mendengarkan, maka mendengarkan musik menjadi haram dalam keadaan yang seperti itu.

Itu sebab ada sebagian ulama terdahulu yang menghramkan. Meski nyatanya tidak ada satupun hadis yang shahih yang mengharamkan alat musik  dan itu diakui oleh empat madzhab. Garis besarnya, ini masalah yang sangat luas maka jangan sempitkan hal yang luas. Wallahu’alam.

Sumber artikel ini di muat di bincangsyariah.com

(Hwmi Online)

Bagikan artikel ini

Silakan tulis komentar Anda