Buya Syafi'i Ma'arif: Indonesia Masih Bertahan Karena Kultur dan Budaya Toleransi - HWMI.or.id

Tuesday 7 September 2021

Buya Syafi'i Ma'arif: Indonesia Masih Bertahan Karena Kultur dan Budaya Toleransi

Buya Syafi’i Maarif; Indonesia Masih Bertahan Karena Kultur dan Budaya Toleransi

Penulis:Zainuddin Lubis

Dikutip dari bincangsyariah.com, bangsa  Indonesia dikenal sebagai bangsa yang bhinneka. Bangsa yang berbaga-bagai. Yang beraneka. Terdiri dari agama yang bermacam-macam. Suku yang beragam. Pun bahasa juga banyak sekali di Indonesia. Bahasa  daerah yang ada di Indonesia sekitar 750 bahasa. Yang sebagian bahasa itu sudah mati, tetapi masih banyak yang bertahan.

Di tengah keberagaman itu, Indonesia masih bisa survive. Masih berdiri kokoh sebagai suatu bangsa. Menurut Cendikiawan Muslim Indonesia, Profesor Dr. Buya Syafi’i Maarif, bangsa ini  masih bisa bertahan, sebab masih menjunjung  tinggi budaya dan kultur toleransi. Itulah aset dan modal utama bangsa ini.

Toleransi itu artinya, kita bisa berbeda dalam persaudaraan. Dan bersaudara dalam perbedaan. Kendati demikian, terkadang ada juga yang sukar bertoleransi. Mengaku dirinya paling benar—kalau dia beragama, dia mengklaim agamanya saja yang paling benar.

Sejatinya setiap orang boleh bersikap begitu, tetapi penting dicatat—juga beri hak orang lain untuk bersikap yang sama. Bahkan sebenarnya, orang yang tak punya agama sekalipun tak boleh dipersekusi dan musuhi. Selama ia sebagai warga negara; menghormati konstitusi dan UUD 1945.

Penting dicatat, toleransi itu adalah sunnah Allah. Artinya itu memang ada. Perbedaan itu merupakan suatu ketetapan Allah.  Yang dianugerahkan pada manusia. Terkait dalam agama, setiap warga negara bebas memeluk agama dan kepercayaan masing-masing. Untuk itu, tak diperbolehkan setiap orang dipaksa untuk memeluk agama.  Hal itu tertuang dalam Q.S al Baqarah/2:256:

لَا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ ۖ

Artinya: Tidak adapaksaan dalam beragama.

Begitu juga dalam ayat lain, umpamanya Allah berfirman dalam Q.S Yūnus/;99;

وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ لَآمَنَ مَنْ فِي الْأَرْضِ كُلُّهُمْ جَمِيعًا ۚ أَفَأَنْتَ تُكْرِهُ النَّاسَ حَتَّىٰ يَكُونُوا مُؤْمِنِينَ

Artinya: Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya?

Kalau kita sebagai manusia, berbeda dengan orang lain, itu bukan aib atau bencana. Pada pasalnya, hakikat manusia itu diciptakan beragam. Jangankan yang berbeda agama, terkadang dalam saudara—kakak dan adik—, tampak ada perbedaan yang mencolok. Perbedaan itu adalah kekayaan bagi kemanusiaan.

Tugas manusia kata Buya Syafi’i Maarif, adalah menyampaikan risalah agama. Bila sudah disampaikan dengan baik. Pun dakwah agama sudah dikumandangkan dengan sebaik mungkin, maka itu sudah cukup. “Adapun hasilnya itu Allah yang akan menentukan hasilnya,”kata mantan Ketua PP Muhamdiyah melalui kanal Youtube Kompas TV.

Politik dan Ketidakadilan Sebagai Sumbu Konflik

Ada lima agama yang diakui negara,; Islam Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Konghuchu. Adapun lima agama itu, hidup berdampingan. Damai. Meskipun harus diakui terkadang ada bentrokan di tengah umat beragam. Itu bukan motif agama. Ada nuansa lain dalam konflik tersebut. Tak tunggal agama penyebabnya.  “Karena motif politik. Pertarungan ekonomi. Dan sialnya, agama dipakai untuk memperkeruh keadaan,” tuturnya penuh sesal.

Buya Syafi’i Maarif pun mengingatkan betapa bahayanya konflik yang mengatasnamakan agama. Sebut saja seperti di Ambon, beberapatahun silam.  Agama dipakai untuk merusak dan memperparah keadaan. Agama memang barang cukup seksi untuk dijual. Pembelinya pun beragama.

Jikalau sudah membawa agama, maka orang akan siap untuk mati, demi membela agamanya. Dengan demikian, konflik yang mengatasnamakan agama harus dihentikan di Indonesia. Pun konflik  atas umat satu agama. Terkadang, orang yang berbeda mazhab dan fikih bertenggar. Bertindak bengis. Ini tentu hal yang tak baik bagi bangsa Indonesia.

Menurut Buya Syafi’i, pun ketika terjadi bentrokan maka akarnya bisa dicari. Ia menilai akar muasalnya adalah ketidakadilan. Yang menyebabkan manusia bermusuhan. Padahala dalam sila ke lima Pancasila kita kenal, keadilan sosial agi seluruh rakyat Indonesia.

Keadilan sosial itu suatu yang wajib. Itu adalah perwujudan sila pertama sebenarnya—Ketuhanan Yang Maha Esa—, dalam bentuk rilnya dalam kehidupan masyarakat itu adalah keadilan. Indonesia dikenal sebagai bangsa yang punya filsafat yang tinggi sekali dan nilai luhur.

Inilah pekejaan besar bangsa ini—keadilan belum merata. Pendapatan belum merata. Kesenjangan sosial masih belum terlewati dengan baik. Maka perjuangan masih panjang. Dan dalam perjuangan itu, dengan tidak memandang suku,bangsa, agama. Dengan sikap toleransi kita bangun bangsa ini untuk jadi bangsa lebih baik dan bangsa lebih baik. Dan bangsa yang lebih makmur.

(Hwmi Online)

Bagikan artikel ini

Silakan tulis komentar Anda