Nasihat untuk Adi Hidayat (UAH); Ulama Fiqih Sangat Berhati-hati Meneliti Hadits - HWMI.or.id

Friday 10 September 2021

Nasihat untuk Adi Hidayat (UAH); Ulama Fiqih Sangat Berhati-hati Meneliti Hadits

ULAMA AHLI FIQH SANGAT BERHATI-BERHATI MENELITI HADITS

Oleh: Muhammad Arief Junaydi

Menjadi dai populer terebih lagi mempunyai kajian tetap dengan puluhan jamaah secara off line atau real dan ratusan hingga ribuan follower di media sosial, mau tidak mau, siap tidak siap harus bisa melayani kemauan dan permintaan para jamaahnya, termasuk pula memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang krusial dalam kehidupan sehari-hari meskipun terkadang ketidak mampuan menjawab atau memberikan jawaban itu sering dipaksakan harus menjawab dan enggan atau bahkan mungkin 'malu' atau gengsi untuk mengatakan "Aku Tidak Tahu".

Karena ketidak mampuan dan sering dipaksa-paksakan untuk bisa dan mampu itulah maka tidak jarang terpeleset kepada suatu kesalahan fatal tanpa disadari dan ditutup-tutupi pula dengan berkata hal-hal yang aneh yang menyalahi dan menyelisihi pendapat mayoritas, penipuan..., ya, tepatnya seperti itulah, hanya saja penipuan secara ilmiyah kadang tidak kelihatan dan masih terlihat elok, elegan dan waaah, padahal amanah ilmiyah ini ada pertanggung jawabannya di akhirat lhooo.

Kesalahan Fatal Ustadz Adi Hidayat, Lc, MA Adi Hidayat, Lc Ma (UAH) :

1). Langsung merujuk kepada hadits dan kitab-kitab hadits, padahal tidak semua orang terlebih lagi mayoritas orang awam faham akan hadits dan ilmu hadits kecuali sedikit dan sebagian itupun jika hanya membahas matan dan nama kitab haditsnya saja, tanpa dirinci secara detail secara fiqh, 

2). Pengakuan yang meragukan dengan mengatakan mempunyai "koleksi 1235 kitab hadits", padahal jumlah ini terbilang fantastis, kenapa saya bilang meragukan, ya, karena dalam perpustakaan pun belum tentu bisa mengumpulkan atau mengoleksi kitab sebanyak itu terlebih khusus lagi ini adalah kitab hadits yang mana kitab hadits itu bermacam-macam (In Syaa Allah akan saya tulis di waktu lain).

3). Menyombongkan diri dengan berkata "telah mengecek 'SATU-SATU / SEMUA' matan-matan atau redaksi hadits dalam 1235 kitab hadits yang dia miliki", pernyataan dan pengakuan ini selain menyombongkan diri juga ada indikasi IRASIONAL alias tidak masuk akal, kecuali dia a. Mau ngibul hanya ngaku-ngaku, b. Punya karomah sebagaimana yang dialami Hadrotussyaikh Hasyim Asy'ari yang mampu menghafal kitab hadits primer yang enam (Kutubussittah) dalam waktu yang sangat singkat dan cepat, selain melalui proses belajar dan menghafal tentunya, (tapi ini juga mustahil dan hal yang tidak mungkin dialami UAH).

4). Melompati pendapat kibari ulama' ahli fiqh, dalam video full atau potongan alias cropping tersebut adalah pertanyaan dan pembahasan seputar fiqh, lantas kenapa langsung main comat-comot hadits terlalu awal, kenapa tidak dibahas secara fiqh dengan qaul-qaul ulama' ahli fiqh terlebih dahulu, padahal sudah kita ketahui bersama para Aimmatul Fuqaha' apalagi Mujtahidin semuanya tidak pernah keluar dari nash-nash qath'i (al-Qur'an dan as-Sunnah), sehingga kesannya UAH ini hampir melebihi atau minimal mau menyamai level para Aimmatul Mujtahidin.

5) Keterburu-buruan dan kegegabahan yang bersumber dari rasa bangga. Dalam setiap fununul ulum baik itu; aqidah, ibadah, amaliah, mu'amalah, adab dan akhlaq pasti tidak akan pernah keluar dari dua rujukan atau sumber hukum utama dalam agama Islam, yaitu Kitabullah (al-Qur'an) dan Sunnah Nabawiyah (al-Hadits), sehingga semua pembahasan bab per bab tetap terkoordinir dan sesuai jalannya yang benar, akan tetapi para ulama yang ahli di bidang ilmu-ilmu diatas tidak lantas dengan mudah main comot apalagi memberikan status hukum kepada nash sharih dengan berkata "Tidak ada Haditsnya" dsb, sebab kehati-hatian itu sangat penting sekali dan menjadi pintu awal untuk mengarungi lautan ilmu Allah SWT yang begitu luas dengan informasi melalui lisan mulia Nabi SAW dengan periwayatan generasi-generasi setelah beliau wafat.


Berikut ini akan saya coba kutip isi dari kitab Al-Fiqhu 'ala Madzahibul Arba'ah yang ditulis Syekh Abdurrahman al-Jaziri pada bab pembahasan tentang "Sunnah-Sunnah Shalat" dan "Do'a Iftitah":

<<الشافعية قالوا: سنن الصلاة الداخلة فيها تنقسم إلى قسمين، قسم يسمونه بالهيئات، وقسم يسمونه بالأبعاض، فأما الهيئات فلم يحصروها في عدد خاص، بل قالوا، كل ما ليس بركن من أركان الصلاة وليس بعضاً من أبعاضها فهو هيئة، والسنة التي من أبعاض الصلاة إذا تركت عمداً فإنها تجبر بسجود السهو، وعدد الأبعاض عشرون. ّ...إلى أن قال... ومنها أن يقول المصلي بعد تكبيرة الإحرام: "وجهت وجهي للذي فطر السموات والأرض حنيفاً مسلماً وما أنا من المشركين. إن صلاتي ونسكي ومحياي ومماتي لله رب العالمين، لا شريك له، وبذلك أمرت، وأنا من المسلمين".

وهذا الدعاء يقال له: دعاء الافتتاح. وهو مستحب الإتيان بهذا الدعاء الا بشروط خمسة: أحدها. أن يكون في غير صلاة الجنازة. فإن كان في صلاة الجنازة، فإنه لا يأتي به، ولكن يأتي بالتعوذ، ثانيها: أن لا يخاف فوات وقت الأداء. فلو بقي في الوقت ما يسع ركعة بدون أن يأتي بدعاء الافتتاح. فإنه لا يأتي به، ثالثها: أن لا يخاف المأموم فوت بعض الفاتحة فإن خاف ذلك فلا يأتي به، رابعها: أن يدرك الإمام في حال الاعتدال من القيامن فإذا أدركه في الاعتدال فإنه لا يأتي به، خامسها: أن لا يشرع في التعوذ أو قراءة الفاتحة، فإن شرع في ذلك عمداً بالاستعاذة بعد دعاء الافتتاح الذي تقدم، وتحصل الاستعاذة بكل لفظ يشتمل على التعوذ. ولكن الأفضل أن يقول: أعوذ بالله من الشيطان الرجيم، وبعضهم يقول: إن زيادة السميع العليم سنة أيضاً. فيقول: أعوذ بالله السميع العليم، من الشيطان الرجيم، ومنها الجهر بالقراءة إذا كان المصلي إماماً ومنفرداً، أما المأموم فيسن في حقه الإسرار وإنما يسن الجهر فيحق المرأة والخنثى إذا لم يسمع شخص أجنبي، أما إذا وجد أجنبي، فإن المرأة والخنثى لا يجهران بالقراءة، بل يسن لهما الإسرار، كي لا يسمع صوتهما الأجنبي وحد الإسرار عند الشافعية هو أن يسمع المصلي نفسه، كما تقدم، وظاهر أن الجهر لا يكون الا في الركعتين الأوليين إذا كان منفرداً.>>

<<وعند الشافعية سكتات أخرى مطلوبة، ولكنها يسيرة، ويعبرون عنها بسكتات لطيفة، وهي في مواضع: أحدها: أن يسكت سكتة لطيفة بعد تكبيرة الإحرام، ثم يشرع في قراءة التوجه {وجهت وجهي للذي فطر السموات والأرض} الخ،>>

<<الشافعية قالوا: دعاء الافتتاح هو أن يقول المصلي بعد تكبيرة الإحرام: {وجهت وجهي للذي فطر السموات والأرض حنيفاً مسلماً، وما أنا من المشركين، إن صلاتي ونسكي ومحياي ومماتي لله رب العالمين؛ لا شريك له، وبذلك أمرت، وأنا من المسلمين} والحنفية يقولون إن هذه الصيغة تقال قبل نية صلاة الفرض، كما تقال بعد النية، والتكبيرة في صلاة النافلة، وقد اشترط الشافعية للإتيان بهذا الدعاء شروطاً خمسة، ذكرناها مع بيان كل ما يتعلق به في "سنن الصلاة" في مذهبهم؛ فارجع إليه. ...إلى أن قال...

المالكية قالوا: يكره الإتيان بدعاء الافتتاح على المشهور، لعمل الصحابة على تركه، وإن كان الحديث الوارد به صحيحاً على أنهم نقلوا عن مالك رضي الله عنه أنه قال بندبه، ونصه: "سبحانك اللهم وبحمدك، وتبارك اسمك، وتعالى جدك، ولا إله غيرك، وجهت وجهي للذي فطر السموات والأرض حنيفاً"، إلى آخر الآية؛ وقد عرفت أن الإتيان به مكروه على المشهور.

Perhatikan pendapat Syafiiyah dan Malikiyah,

Syafi'iyah dengan tegas mensunnahkannya do'a iftitah dengan lafazh "Wajjahtu Wajhiy", sedangkan dalam pendapat Malikiyah menyatakan makruh namun tidak memungkiri bahwa "HADITS DO'A IFTITAH TERSEBUT SHAHIH" perhatikan pada kalimat:

"وإن كان الحديث الوارد به صحيحاً على أنهم نقلوا عن مالك رضي الله عنه".

Kesimpulannya:

a. Do'a Iftitah itu disepakati kesunnahannya menurut 3 madzhab (Hanafiyah, Syafi'iyah dan Hanabilah),

b. Makruh menurut Malikiyah,

c. Perbedaan pendapat tentang penambahan lafazh "إنّي وجهت وجهي إلخ" apakah harus sebelum takbir ataukah sesudah takbiratil ihram,

c. Kalimat yang memang masyhur dalam kalangan Syafi'iyah ialah "وجهت وجهي" tanpa lafazh "إنّي" sementara penambahan kalimat taukid "إنّي" ialah pendapat mayoritas kalangan Hanafiyah, mengacu pada pendapat Imam Abu Yusuf (bisa dicek di kitab-kitab primer fiqh Hanafiyah).

d. Mengapa sebagian dalam fiqh Syafi'iyah ditambah dengan kalimat taukid berupa lafazh "إنّي" padahal yang masyhur ialah tanpa taukid, tujuannya tak lain dan tak bukan adalah sebuah "Taukid" atau "Penguatan dan Penegasan yang Sungguh-Sungguh" jika kita mempelajari serius ilmu gramatika bahasa arab (Nahwu - Sharraf) maka disitulah kita akan temukan jawabannya, berdasarkan kepada firman Allah SWT yang menegaskan jati diri keTuhananNYA, seperti dalam ayat "إنّي أنا اللّه لآإله إلّا أنا" dan ayat "إنّي أنا الغفور الرّحيم" serta ayat-ayat lainnya begitupula dalam kalimat-kalimat lain dalam bahasa arab selain ayat al-Qur'an, semisal Hadits, Atsar Shahabah, Maqalah Ulama' dsb.

e. Memberikan hukum mutlak dengan mengatakan "tidak ada haditsnya" sungguh hal yang miris dan merupakan sebuah penghianatan ilmiyah tanpa menelaah secara serius dan telaten.

Demikianlah yang bisa saya tulis dan kemukakan. Mohon maaf apabila banyak kekurangan, kesalahan dan terlalu panjang pembahasan ini saya tulis dengan panjang semata-mata agar tidak ada yang gagal faham dan salah memahami, apabila pembaca ingin menambahkan, mengoreksi dan memberikan kritikan membangun dipersilahkan dengan senang hati dan tangan terbuka akan saya terima sebagai bahan muhasabah dan tambahan pengetahuan saya yang amat sangat terbatas ini.

Referensi yang saya ambil:

[Al-Fiqhu 'ala Al-Madzahibi Al-Arba'ah juz 1 halaman 193-194 dan 201, cetakan Darul Hadits, Bab Sunnah-Sunnah Shalat sub Bab Do'a Iftitah]

Salam Ngaji dan Ngamalkan

Kalibata Utara, Jakarta Selatan 09/09/2021

(Hwmi Online)

Bagikan artikel ini

Silakan tulis komentar Anda