Selama Umat Mendambakan Khilafah, Islam Tidak Akan Memasuki Kejayaan
By: Ahmad Khoir
Dikutip dari Harakatuna.com pengisahan kembali kejayaan Islam di masa lalu terdengar seperti lagu Nina Bobo, membuat seseorang tertidur pulas hingga lupa bahwa mereka berada di alam mimpi. Setelah bangun, ia kecewa karena mimpinya tidak riil, tidak bisa menjadi nyata. Begitulah, mendambakan khilafah untuk kejayaan Islam hari ini adalah cita-cita ahistoris. Apa pun nama kelompoknya, jika khilafah menjadi seruan utama, ia berada di jalan yang salah.
Bagaimana pun rupa keinginannya, yang namanya khilafah Islamiah bukan hanya tidak cocok untuk negara ini, melainkan juga tidak cocok disematkan sebagai bagian inheren dari Islam. Belum lagi konsep tersebut, bahkan oleh mereka yang mendambakannya, dipahami secara berbeda. HTI, umpamnya, ingin menegakkan khilafah melalui jalur indoktrinasi yang masif tanpa kekerasan. PKS pakai cara birokratis. Salafi dengan cara dakwah. FPI yang belum jelas.
Bagaimana sejatinya cita-cita khilafah bisa mendarat dan bertahan lama di dalam public sphere? Ada beberapa faktor. Pertama, sektarianisme. Ini berdasarkan histori klasik bahwa persoalan sektarian menjadi persoalan yang setua Islam itu sendiri. Aliran teologi, yang kajiannya tentang mukmin-kafir, memantik konflik sektarianisme. Sunni dan Syiah adalah yang terpanjang hingga hari ini, dan dari doktrin spesifik mereka, lahirlah beragam organisasi sempalan.
Kedua, pergolakan politik Islam. Setelah Turki Utsmani runtuh dan rezim sekuler berkuasa, Barat sedang gencar menerapkan sistem sekuler dalam relasi agama dan negara. Tetapi setelah Revolusi Iran dan kemenangan Israel terhadap negara-negara Arab dalam Perang Enam Hari, Islam politik bergejolak dan menuntut kekuasaan mutlak. Sebagai upaya legalisasi, Islam menjadi argumentasi, sumber primer daalam membolisasi massa atau jemaah.
Ketiga, respons terhadap kolonialisme. Ini yang faktual, bahwa sebagian besar umat Islam yang kerap kali menyuarakan khilafah adalah mereka yang iri terhadap kemajuan Barat di satu sisi, dan keputusasaan terhadap keterbelakangan sendiri di sisi lainnya. Para pejuang khilafah menolak modernisasi sebagai produk Barat yang haram, hanya untuk menutupi bahwa mereka tidak bisa maju. Reformasi pun diagendakan, tapi sayangnya di tempat yang salah.
Reformasi yang Seharusnya
Umat Islam bisa menolak sekularisme dan modernisme, tetapi tidak ada yang bisa menolak sekularisasi dan modernisasi. Menginginkan Islam merebut kembali kejayaan masa lalu tapi menggunakan cara perebutan kekuasaan dan destruksi sistem politik belaka, adalah tindakan sporadis yang akan mati sendiri oleh zaman. Inilah jawabannya mengapa narasi mendambakan khilafah selalu kalah dan terlindas oleh keterbelakangan gagasan mereka, di samping irrelevansi.
Benar, memang, apa yang diuraikan Megan Brankley Abbas (2021: 126), bahwa teori modernisasi bertumpu pada pra-anggapan budaya Barat tentang hakikat modernitas dan kemajuan. Para pendukungnya mengadopsi pembacaan sejarah secara universal dan teleologis yang memproyeksikan pengalaman Eropa dan Amerika modern tertentu—seperti industrialisasi, demokratisasi, dan sekularisasi—sebagai tahapan alami dalam perkembangan kemanusiaan.
Setelah karakteristik masyarakat Barat ini dijadikan tolok ukur untuk mengevaluasi proses transisi di masyarakat Indonesia, penentangan langsung mencuat ke khalayak publik. Padahal, tidak sulit untuk menerapkan pola modernitas tanpa resistansi, terutama Amerika-sentris. Pada tahun 1959, sosiolog Universitas Chicago Edward Shils menyatakan, pada konferensi para ahli teori modernisasi terkemuka, modern berarti menjadi Barat tanpa tanggung jawab mengikuti Barat.
Dengan kata lain, ini adalah model Barat yang terlepas dari asal-usul dan lokasi geografisnya. Beberapa tahun kemudian, sosiolog Berkeley Seymour Martin Lipset menerbitkan The First New Nation, buku yang berpendapat bahwa Amerika Serikat dapat dan harus berfungsi sebagai model pembangunan. Apakah artinya kemajuan peradaban Islam hanya bisa dicapai dengan meniru Barat? Positif, sebagaimana Eropa merebut kejayaan Islam melalui cara yang persis begitu.
Dari uraian tersebut, reformasi yang seharusnya—karena kemajuan Islam adalah cita-cita seluruh umat Islam—tidak bisa ditempuh dengan merebut politik sembari antipati dengan Barat secara mentah-mentah. Modernisasi adalah realitas yang tidak bisa dibendung, maka untuk maju, umat Islam harus beradaptasi dengannya dan melangkah sebagai peradaban progresif dan modern. Bukan, sekali lagi, dengan teriak mendambakan khilafah sambil nenteng bendera HTI, umpamanya.
Khilafah dan Kekuasaan
Kecuali jika memang narasi mendambakan khilafah oleh sejumlah ormas Islam di Indonesia tersebut memang untuk keperluan pribadi, yang meminjam term Islam demi menggaet massa belaka—sama sekali bukan untuk meraih kejayaan seperti yang ada dalam wacana sporadis mereka. Jika faktanya begitu, maka apa yang terjadi hari ini bisa dimaklumi. Tidak paham Islam, tapi ingin memajukannya. Tidak paham sejarah, tapi ingin menguasai dunia. Sangat irasional.
Dalam hal ini, kekuasaan selalu menemukan celah untuk mengelabui masyarakat yang haus akan keadilan dan kemakmuran. Apakah salah jika umat Islam ingin berkuasa di negeri sendiri? Jelas tidak. Tetapi politik Islam di negeri ini tidak dibenarkan jika mempertentangkan keislaman dengan kenegaraan itu sendiri. Apalagi dengan cara mengadopsi sistem transnasional, itu bukan cara yang kredibel. Khilafah dalam hal ini harus segera dihentikan narasinya.
Faktanya, alih-alih menciptakan kejayaan Islam, narasi mendambakan khilafah justru merusak studi keislaman yang sudah mapan, dan secara otomatis menghambat kemajuan itu sendiri. Bahkan, wacana khilafah yang terus bergulir merupakan bentuk kolonialisme, yang oleh Wael B. Hallaq didefiniskan sebagai “proyek modern dari transformasi total, yang terus-menerus bertujuan untuk merekayasa ulang subjek,” agar tidak tampak kepentingan ideologisnya.
Dari pemaparan tersebut, kejayaan Islam yang merupan cita-cita seluruh Muslim harus direalisasikan, tetapi bukan dengan gojang-ganjing mengasongkan khilafah. Perlu diskusi panjang lebar, mendudukkan persoalan hingga tercipta konsensus. Progresivitas dan modernitas adalah panggung, dan ilmu pengetahuan adalah senjata menuju kemajuan. Jika bekalnya cuma khilafah yang sarat ideologis, spirit kejayaan Islam tetaplah spirit lagu Nina Bobo belaka.
Wallahu A’lam bi ash-Shawab…