Membaca Terorisme dan Spirit Khilafah dari Kacamata Teori Gerakan Sosial - HWMI.or.id

Monday, 15 November 2021

Membaca Terorisme dan Spirit Khilafah dari Kacamata Teori Gerakan Sosial

 Membaca Terorisme dan Spirit Khilafah dari Kacamata Teori Gerakan Sosial

By: Ahmad Khoiri

Di kutip dari Harakatuna.com – Penggeledahan Detasemen Khusus 88 Anti Teror Polri ke sebuah rumah terduga teroris di Sumenep, Selasa (9/11) sekitar pukul 11.35 WIB kemarin menambah daftar bahwa persoalan terorisme di tanah air masih belum tuntas. Betapa pun pemerintah telah membubarkan HTI dan melarang FPI, aksi teror tetap menjadi momok yang menakutkan. Terorisme, sebagaimana narasi khilafah, tidak pernah usai. Mengapa ini bisa terjadi?

Sebenarnya, kontra-terorisme di Indonesia tergolong sangat masif. Maksudnya, secara kuantitas kontra-narasi, seharusnya terorisme dan narasi khilafah telah punah. Beberapa kalangan yakin, faktornya adalah ideologi: ideologi tidak pernah mati. Namun benarkan ideologi menjadi faktor utama ketidakusaian terorisme dan khilafah? Ini harus dikaji ulang. Sebab, kita tidak hidup di ruang hampa yang ideologi bisa merasuk seenaknya.

Bahwa terorisme dan khilafah merupakan abstraksi ideologis, itu adalah fakta. Namun menarik dicatat bahwa, sang ideolog teror, Abdullah Azzam, juga tidak mengindoktrinasi dalam ruang hampa. Ketika ia mengembangkan kesyahidan yang terkait dengan Islam radikal selama tahun 1980-an, kesyahidan menjadi fokus. Karenanya, perlu juga diperiksa dinamika paralel antara Islam radikal dan Islam mainstream dengan realitas sosialnya (David B. Cook, 2017: 161).

Tulisan ini berusaha menganalisis terorisme dan narasi khilafah menggunakan teori gerakan sosial. Meskipun ideologi memiliki perannya sendiri, payung organisasi teror seperti JI dan JAD memperjelas aksi mereka sebagai gerakan sosial, alih-alih gerakan ideologis an sich. Dengan kata lain, teror Bom Bali, MIT di Poso, atau aksi sporadis teroris JAD di sejumlah wilayah merupakan respons atas kondisi sosial-politik tertentu. Ini penting dipahami.

Social Movement Theory

Selama ini, kecenderungan membahas aktivisme Islam selalu bersifat normatif. Ideologi, struktur, dan peluang gerakan mereka, kerap kali dibahas berulang-ulang. Terorisme, sebagai klimaks aktivisme tersebut, juga narasi khilafah yang bergerak di ranah mindset, kemudian menjadi rumit. Pada akhirnya, diskusi berakhir dengan cara kabur ke pojok: telaah nas agama dan ideologi pemeluknya. Di sinilah teori sosial menemukan perannya.

Berdasarkan kamus Sosiologi, pergerakan sosial ialah Tindakan kolektif oleh sekelompok orang dengan identitas bersama, atau kolektif, berdasarkan seperangkat keyakinan dan pendapat yang bermaksud mengubah atau mempertahankan beberapa aspek tatanan sosial.

Sementara itu, menurut Porta & Diani (2006: 20), gerakan sosial merupakan seperangkat individu dan atau kelompok informal yang terlibat dalam hubungan konflik dengan lawan yang teridentifikasi dengan jelas, dihubungkan oleh jaringan informal yang padat, dan berbagi identitas kolektif yang berbeda. Tipenya beragam. Ada gerakan sosial yang transformatif, reformatif, redemptif, dan alternatif. Hasilnya juag beragam: ada yang sukses dan ada yang gagal.

Charles Tilly, sosiolog terkemuka abad ke-20 menawarkan tiga elemen penting dalam menganalisis gerakan sosial, yaitu kesempatan politis (political opportunities), sumber mobilisasi (resource mobilization), dan pembingkaian kolektif (collective action frame). Ketiga elemen ini dapat membantu memahami terorisme dan narasi khilafah dalam konteks gerakan masif para aktornya, dan tentu di bawah payung organisasi mereka.

Pertama, kesempatan politis. Aksi teror terjadi secara sistematis, didorong oleh cita-cita transformasi sistem pemerintahan secara menyeluruh. Teror dilakukan untuk menakuti masyarakat, dengan memanfaatkan polemik-polemik dan masalah yang belum bisa diselesaikan oleh demokrasi. Tuduhan ketidakadilan dan eksploitasi kedaulatan, di Indonesia, sangat marak digempurkan kelompok teror, dan dari situ mereka menganggap ada celah untuk bergerak.

Kedua, sumber mobilisasi. Ini belum menemukan strategi yang paling efektif, bahwa narasi khilafah dan terorisme terjadi karena mereka punya ruang gerak untuk mengais kader dan simpatisan. Masjid dan masjid pengajian menjadi markas mobilisasi, yang dari situlah semua gerakan sosial mereka bermula. Setelah kesempatan politis, tidak susah untuk menghasut orang bertindak radikal dan teror: adalah hal mudah untuk memobilisasi orang membunuh sesama.

Ketiga, pembingkaian kolektif. Media baru seperti Instagram, Facebook, dan Twitter ternyata telah menjadi senjata utama untuk mengeksploitasi kebenaran di satu sisi, dan mengindoktrinasi ekstremitas di sisi lainnya. Yang menarik, para teroris dan aktivis khilafah jauh lebih melek media baru daripada kalangan moderat. Akibatnya, teror dan narasi khilafah tidak pernah selesai pembicaraannya, bahkan semakin banyak mengais partisipan daring.

Aktivisme Islam di Indonesia, yang memiliki agenda khilafah, apa pun nama organisasinya, dan siapa pun pemimpinnya, bergerak melalui tiga elemen tersebut. Mereka seragam dalam pergerakan politik penentangan untuk tujuan utopis: mendirikan Negara Islam. Jika sedemikian kompleks, lalu apa yang bisa kita lakukan?

Kontra Terorisme, Anti Khilafah

Teror sebagai sebuah ideologi tidak akan sirna, kendati segala kulit luar (casing) dikoyak sedemikian rupa. Sebagaimana yang sudah-sudah, tentu ini menjadi PR bersama, bahwa terorisme harus dimusnahkan hingga ke akar-akarnya. ISIS boleh saja sudah dilemahkan, kalau tidak mau bilang dilenyapkan, kekuatannya. Tetapi waspada tetaplah keharusan, karena: bukankah hantu yang diusik di satu tempat akan pindah ke tempat lain dengan rupa berbeda? Sumenep buktinya.

Agenda bersama kita ialah meredam sekuat mungkin melalui kontra terorisme dan prinsip anti khilafah, seperti apa pun mereka menjelma. Pemberantasan terorisme memerlukan saling pangku tangan semua elemen masyarakat, dari ormas apa pun, di dalam atau di luar pemerintahan. Perlu juga memberantasnya dari semua sisi; ideologi serta sepak terjangnya. Dan dari perspektif teori gerakan sosial, tiga elemen tadi harus ditutup rapat, agar mereka tidak punya peluang.

Dengan demikian, pembenahan mesti dilakukan, pertama-tama, dari perbaikan struktural pemerintahan dan struktur peluang politis yang rentan dimanfaatkan. Begitu pula dengan masjid, mushalla, dan seluruh majelis yang dikuasai mereka. Media, seluruhnya, juga demikian: dalam pengawasan. Terorisme dan narasi khilafah, sekali lagi, tidak hanya dituntun oleh doktrin ideologis. Struktur sosial kita memungkinkan mereka melakukan segalanya.

Wallahu A’lam bi ash-Shawab…

(Hwmi Online)

Bagikan artikel ini

Silakan tulis komentar Anda