Oleh: Ahmad Ali Mashum in Suara kita
Mungkinkah Ulama Melakukan dan Terlibat dalam Jaringan Terorisme?
Peristiwa penangkapan anggota Komisi Fatwa MUI dalam kasus dugaan keterlibatan dalam jaringan terorisme memunculkan banyak narasi dan pertanyaan. Salah satunya adalah mungkinkan ulama bisa terpapar ideologi radikal terorisme?
Pertanyaan tersebut menarik untuk ditelusuri lebih dalam. Selain menjawab beberapa pertanyaan dari banyak kalangan, juga dalam rangka menjernihkan pemahaman masyarakat tentang pembahasan berkaitan dengan ulama dan terorisme.
Pertama, bahwa tidak ada individu dan lembaga manapun yang ‘kebal’ terhadap ideologi radikalisme. Sebab, ideologi kekerasan itu tidak kasat mata sehingga bisa menyusup kapan dan di mana saja serta kepada siapapun itu, termasuk orang yang dijuluki ‘ulama’.
Kedua, ulama itu teladan bagi umat, tidak mungkin melakukan tindakan terorisme. Bahwa ulama bisa terpapar ideologi radikal-terorisme adalah benar, tetapi ketika ia benar-benar terpapar, maka sejatinya ke-ulamaan yang melekat pada dirinya menjadi tidak berguna, alias hanya sekedar julukan saja.
Sebab, ulama itu pelita dalam kehidupan berbangsa dan beragama, teladan dalam kehidupan sehari-hari dan penuntun ke jalan kebenaran. Sementara kita paham betul bahwa terorisme adalah kejahatan dan musuh dunia, yang tidak hanya dalam kaca-mata agama, melainkan juga negara secara keseluruhan.
Dengan demikian, jika ternyata ada sosok tokoh agama dan dianggap sebagai ulama tetapi terlibat dalan jaringan terorisme, maka itu adalah ulama yang murni. Dalam bahasa yang lebih vulgar, ia adalah oknum yang berlindung di balik titel ulama.
Berkaitan dengan kasus penangkapan anggota Komisi Fatwa MUI yang gempar beberapa hari ini, itu adalah oknum yang disusupkan oleh kelompok radikal teroris ke tubuh MUI. Untuk apa? Tentu bukan tanpa maksud dan tujuan.
Penyusupan oknum itu tentunya bagian dari strategi kelompok radikal untuk melakukan penguasaan wilayah (tamkin) agar tujuan picik dan jahat kelompok radikal teroris lebih mudah dijalankan. Karena kelompok radikal selalu mencari celah untuk merealisasikan niat bejatnya.
Radikalisme Terorisme: Dikutuk di Dunia, Dilaknat di Akhirat!
Radikalisme terorisme lazimnya diaktualiasikan dalam bentuk bom bunuh diri. Inilah yang terjadi di Indonesia dan dunia. Terkait hal itu, perlu ditekankan bahwa mati dengan cara bunuh diri, dalam kacamata Islam misalnya, sangat tidak elok. Bahkan bukan sekedar tidak elok, melainkan sangat hina dina karena tempatnya di neraka jahannam, naudzubillah. Berikut dalilnya:
Abu al-Zinad meriwayatkan dari al-A’raj dari Abu Hurairah dari Nabi SAW, dan juga dari Abi Qilabah dari Tsabit bin al-Dhahlak ra., berkata, Rasulullah bersabda: “Siapa yang membunuh dirinya dengan cara apapun, maka ia akan disiksa dengan cara yang sama ketika ia membunuh dirinya pada hari kiamat.” (HR. Muslim).
Berkaitan dengan hadis tersebut, Imam al-Nawawi (al-Manhaj Syarh Shahih Muslim: 1392 h, juz II, hlm. 270) memberikan penjelasan lebih detail lagi, yakni dengan mengutip hadis lain sebagai berikut:
Rasulullah bersabda: “Siapa yang membunuh dirinya dengan sepotong besi, maka besi tersebut akan dipegangnya untuk masuk perutnya di dalam neraka Jahannam, dia kekal selama-lamanya. Siapa yang meminum racun untuk membunuh dirinya, maka ia akan merasakan racun di dalam neraka jahannam kekal di dalamnya. Siapa yang terjun dari atas gunung untuk membunuh dirinya, maka ia akan terjun di dalam neraka jahannam kekal di dalamnya.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Masih banyak hadis yang berbicara tentang hukum dan ganjaran yang akan didapatkan oleh pelaku bunuh diri, baik dengan cara meledakkan bom dan lainnya. Pada intinya, bunuh diri tidak dibenarkan dalam Islam. Adapun bom bunuh diri yang dilakukan oleh pasutri di Makassar juga kejadian yang sejenisnya, tidak bisa disebut sebagai jihad. Memang benar bahwa pada zaman Rasulullah, sebagaimana keterangan dalam beberapa hadis, para sahabat Nabi ada yang melakukan jihad dengan cara menyerang musuh dengan senjata.
Meskipun begitu, satu hal yang harus ditempatkan secara jeli dan penuh dengan akal sehat adalah, kondisi zaman Rasulullah dengan saat ini berbeda. Rasulullah hidup di era peperangan secara fisik tidak dapat dihindarkan sehingga peperangan menjadi jalan yang harus ditempuh. Berbeda dengan kondisi saat ini, terutama di Indonesia, yang damai.
Jika alasan lain bom bunuh diri adalah untuk membunuh orang kafir, maka tidak dibenarkan juga. Apalagi kafir di Indonesia termasuk golongan yang harus dilindungi (kafir dzimmi). Sehingga, pelaku bom bunuh diri semacam itu tidak akan masuk surga. Alih-alih masuk surga, justru mereka tidak bisa mencium harumnya surga.
Rasulullah bersabda: “Barang siapa yang membunuh seorang kafir mu’ahid, maka dia tidak akan mencium harum surga meskipun harumnya dapat dirasakan dari jarak 40 tahun.” (HR. Bukhari).
Dari paparan di atas sangat jelas (sharih) bahwa aksi radikalisme-terorisme sangat tidak ada landasannya dalam ajaran agama. Dengan demikian, alih-alih mendapatkan surga, justru para pelaku teror dengan cara meledakkan bom di wilayah yang mereka anggap sebagai medan jihad itu dikutuk di dunia dan dilaknat di akhirat. Jika demikian faktanya: masihkah mau menjadi bahan kutukan umat senusantara dan mendapatkan laknat Allah di akhirat?
Dari penjelasan di atas sangat jelas bahwa terorisme merupakan laku yang bertentangan dengan ajaran agama. Sehingga, ulama tidak mungkin melakukan dan terlibat dalam jaringan atau kegiatan yang bertentangan dengan agama. Karena ulama adalah sosok yang mempunyai ilmu mendalam dan akhlak yang mulia.
Di tengah arus radikalisme yang menyeruak ke mana-mana, justru ulama menjadi benteng tangguh dari infiltrasi paham radikalisme terorisme. Ulama adalah tokoh panutan yang dibutuhkan, bahkan di era perang terhadap radikalisme terorisme seperti saat ini. Dedikasi seorang ulama sangatlah tinggi dan luas. Sebagai sosok yang mempunyai ilmu agama dan sosial yang mendalam, ulama akan selalu menjaga persatuan, perdamaian dan ketentraman hidup.