Penebangan Pohon Radikalisme Tersumbat di DPR? - HWMI.or.id

Sunday 14 November 2021

Penebangan Pohon Radikalisme Tersumbat di DPR?

Penebangan Pohon Radikalisme Tersumbat di DPR?

By: Agus Wedi

Dikutip dari Harakatuna.com. Sering menjadi problem besar jika masyarakat menginginkan radikalisme hancur. Problem itu sering terjadi di tubuh besar Dewan Perwakilan Rakyat. Tersumbat dengan adminitrasi dan undang-undang yang pelik.

Jika masyarakat menginginkan sesuatu yang cepat ingin memberantas radikalisme di masyarakat. Masyarakat terbebani dengan aturan-aturan susah di undang-undang. Bahkan polisi saja merasa kesulitan jika ingin melakukan hal-hal yang perlu.

Banyak kasus di lapangan tidak bisa dikerjakan. Karena terbebani aturan-aturan. Keluhan-keluhan itu hari ini mengemuka. Bahkan di DPR sendiri menjadi bianglala. Belum lagi bagaimana radikalisme menjadi masalah dan ketidaksetujuan antaraanggota DPR.

Masalah dan Keberatan DPR

Dulu, kata radikalisme saja menjadi masalah di DPR. Anggota Komisi III DPR RI Sarifuddin Suding menyarankan agar Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) melakukan kajian ulang terhadap diksi radikalisme. Pasalnya jika mengacu pada KBBI, radikal artinya mendasar kepada hal yang prinsip. Jika kata tersebut disematkan kepada pelaku kekerasan dan tidakan terorisme maka kurang tepat. Dia menyarankan, agar kata radikalisme diganti dengan violent extremism atau kekerasan ekstrem.

Mari kita simak: “Saya minta, dalam forum ini, diksi radikal ini dipikirkan ulang bagaimana agar kata radikalisme diganti dengan violent extremism,” ujar Suding saat Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi III DPR RI dengan BNPT, di Ruang Rapat Komisi III, Gedung Nusantara II, Senayan, Jakarta, Senin (11/11/2019). Politisi dari Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) ini juga menegaskan, agar pelaku kekerasan jangan digeneralisir dengan agama tertentu, sehingga menyudutkan umat. “Diksi radikal, saya kurang setuju. Karena diksi radikal distigmatisasi kepada agama,” kata Suding.

Tak berhenti di sana, anggota DPR itu berbicara panjang. Katanya, bahwa radikal itu ada sejak dulu. Namun, untuk saat ini, banyak kalangan mempertanyakan definisi radikal yang dimaksud pemerintah, dengan mengaitkan pada cara berpakaian.

“Jangan karena persoalan celana cingkrang dan jidat hitam dan cadar kemudian muncul bahasa radikal. Apa hubungannya, kan tidak begitu. Saya minta diksi radikal itu dipikir ulang, bagaimana kata radikal itu diganti dengan kekerasan, ekstrimis,” papar Suding. Dia juga mengungkapkan diksi radikal juga pernah tenar pada masa Orde Baru yang berkaitan mengarah ke gerakan kiri. Tapi pasca Orde Baru ini, bergeser pemahaman ke arah kanan (dpr.go.id).

Tanggapan Sumbang

Di lain di DPR sendiri, radikalisme dianggap menjadi semacam masalah. Itu diucapkan oleh beberapa anggta DPR yang sangat fokal. Salah satunya M. Nasir Djamil. Djamil mengingatkan pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Ma’ruf Amin tidak menjadikan isu radikalisme secara berlebihan, sehingga menghilangkan sejumlah isu krusial yang harus diperhatikan. Menurutnya, menjadikan isu radikalisme, apalagi ditujukan untuk identitas dan agama tertentu, sangat kontradiktif dengan upaya membangun harmoni dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Lebih lanjut, menurut Nasir, dirinya tidak menafikan perilaku keagamaan yang menyimpang berpotensi menjadi radikalisme yang menjurus kepada gerakan terorisme. “Radikalisme jangan hanya dilihat dari satu aspek saja, melainkan harus ditinjau dari berbagai sudut. Saat muncul radikalisme, justru pemerintah harus bertanya ada apa dengan perilaku sosial yang menyimpang terjadi,” ujarnya dalam rilisnya kepada Parlementaria, Selasa (29/10/2019).

Politisi F-PKS itu, justru dirinya kuatir bahwa memunculkan isu radikalisme secara berlebihan adalah upaya untuk menutup kelemahan pemerintah mengatasi sejumlah masalah yang kini membutuhkan perhatian yang serius. “Saya curiga isu radikalisme ingin menutup berbagai masalah yang kini tidak kunjung tuntas penyelesaiannya” (dpr.go.id).

Semua suara sumbang hadir dari DPR dari partai PKS. Mereka seakan tidak terima jika masa Jokowi-Ma’ruf radikalisme dihapuskan secara kontan. Jadi sampai di sini, kita melihat bahwa di tubuh DPR masih banyak masalah serius. Banyak suara di antara mereka terpecah untuk menghapus masalah akut negara ini: radikalisme. Atas itu bukan tidak mungkin DPR yang juga menyumbat penghapusan radikalisme di Indonesia.

(Hwmi Online)

Bagikan artikel ini

Silakan tulis komentar Anda