KH.Afifuddin Muhajir: Adakah Radikalisme di dalam agama, khususnya agama Islam? - HWMI.or.id

Sunday 26 December 2021

KH.Afifuddin Muhajir: Adakah Radikalisme di dalam agama, khususnya agama Islam?

Menjawab :

APAKAH ADA RADIKALISME DI AJARAN ISLAM? 

By. KH. Afifuddin Muhajir, Ra'is Syuriyah PBNU.

Saya diminta untuk berbicara atau untuk menjawab ; Adakah Radikalisme di dalam agama, khususnya agama Islam.

Pengertian radikalisme tadi sudah disampaikan oleh bapak Polisi yaitu ideologi, paham atau aliran yang menginginkan terjadinya perubahan. Perubahan politik, sosial, secara total, drastis, revolusioner, dan seterusnya. Kata kuncinya adalah total, drastis, revolusioner dan seterusnya.

Pertama-tama saya ingin menyampaikan bahwa jargon saya, ini Jargon saya, bahwa

 "al islamu baina al hamasah wa as samahah" 

Hampir sama, yang pertama adalah "hamasah" yang kedua "samahah" Artinya, islam itu berada antara "hamasah" dan "samahah". 

"hamasah" artinya semangat yang menyala, sedangkan "samahah" adalah toleransi yang nyata.

Dari satu sisi islam mengajarkan para penganutnya agar supaya punya semangat yang tinggi. Semangat di dalam menjalankan syariatnya, semangat di dalam mendakwahkan ajaran-ajaran agama dan semangat di dalam melaksanakan amar ma'ruf nahyi munkar. Ajarannya. Oleh karena itu kalau ada umat islam sangat semangat di dalam mengamalkan islam, semangat di dalam mendakwahkan islam dan semangat di dalam melaksanakan amar ma'ruf nahyi munkar itu tidak salah. Itu bukan radikalisme, justru itu adalah yang diajarkan oleh islam.

Akan tetapi di sisi yang lain islam juga mengajarkan para pemeluknya agar supaya menghargai perbedaan, agar supaya bertoleransi kepada pihak-pihak lain yang memiliki keyakinan yang berbeda.

Dari satu sisi islam mengatakan bahwa islamlah yang benar ; "innad-dina 'indallahil islamu wa man yabtaghi ghairal islami dinan falan yuqbala minhu" 

Ini artinya bahwa menurut islam sebagai agama yang benar.

Akan tetapi dalam waktu yang sama Al-Qur'an juga mengatakan "La ikraha fid-dini" tidak ada paksaan di dalam agama, dan "Afa anta tukrihun-nasa hatta yakunu mukminina" Apakah kamu, Muhammad, mau memaksa mereka agar mereka menjadi mukmin semua. Ini jelas bahwa islam adalah bergoyang antara dua ; dari satu sisi mengajarkan kita semangat akan tetapi di sisi yang lain mengajarkan kita agar supaya bertoleransi.

Para hadirin sekalian, islam itu mengajarkan pemeluknya agar supaya kita ini tidak mengurus orang lain, tidak mengurus pihak lain, sampai ke bagian yang paling dalam. Tidak perlu mengurusi orang lain sampai sedalam-dalamnya.

Dalam suatu peperangan, salah seorang Sahabat, namanya Usamah bin Zaid, begitu bertemu dengan orang kafir yang memang dicari langsung dibunuh. Padahal dia sudah mengucapkan "La Ilaha illallah", dibunuh saja. Ketika sampai di Madinah Usamah bin Zaid menyampaikan apa yang terjadi kepada Rasulullah. Usamah bin Zaid ditegur oleh Nabi saw, "Aqataltahu ba'da an qala La Ilaha illallah?". Kenapa anda bunuh dia? Bukankah dia telah mengucapkan "La Ilaha illallah"?. Usamah bin Zaid menjawab, "Kana muta'awwidzan". Dia mengucapkan kalimat itu karena ingin mencari selamat, katanya. Nabi bersabda, "Ala syaqaqta 'ala qalbihi fa ta'lama annahu shadiqun aw kadzibun?". Kenapa anda tidak membelah dada orang itu sehingga anda tahu dia jujur ataukah dusta?. Ini artinya tidak perlu mengurus orang sampai sedalam-dalamnya.

Dalam kaitan ini Allah swt menyatakan dengan tegas "Ya ayyuhal ladzina amanu idza dlorobtum fi sabilillahi fa tabayyanu wala taqulu liman alqo ilaikumus salama lasta mukminan", Wahai orang-orang yang beriman apabila kamu bepergian dalam rangka jihad fi sabilillah hendaklah kamu bertabayyun "wala taqulu" dan terhadap orang-orang yang sudah mengucapkan salam atau yang sudah mengucapkan "La Ilaha illallah" terhadap mereka kamu jangan katakan ; kamu tidak mukmin."wala taqulu liman alqo ilaikumus salama lasta mukminan", kalau sudah bersyahadat seperti itu kita tak perlu mengkafir-kafirkan orang lain gara-gara persoalan-persoalan kecil. 

Ayat ini secara tidak langsung mengajak kita agar supaya tidak mudah melakukan "Takfir", pengkafiran kepada pihak-pihak lain. Al-Qur'an sendiri sudah mengatakan, "wala taqulu liman alqo ilaikumus salama lasta mukminan", jangan berkata ; kamu tidak mukmin kepada orang yang sudah mengatakan "La Ilaha illallah Muhammadur rasulullah".

Para hadirin sekalian, daripada menuduh pihak-pihak lain bahwa mereka adalah radikal lebih baik kita menangkal narasi-narasi "takfiri" ini. Kita menangani bagaimana narasi-narasi "takfiri" ini tidak terus berkembang. Ini yang harus ditangani. Karena dikatakan ; "At-takfiru badi'ud dima", bahwa "takfiri" ini merupakan jalan menuju pertumpahan darah. Pertumpahan darah banyak datang dari gara-gara "takfir" ini.

Memang salah satu ciri daripada radikalisme adalah intoleransi, sementara islam benar-benar mengajarkan toleransi sedemikian rupa.

Para hadirin sekalian... Salah satu ciri daripada radikalisme adalah revolusioner. Seringkali disampaikan bahwa Rasulullah saw adalah seorang revolusioner. Itu memang tidak salah. Kenapa? karena Rasulullah bisa mengubah dunia dalam waktu yang relatif singkat, dunia yang sebelumnya sangat gelap menjadi terang benderang itu dilakukan Rasulullah hanya selama 23 tahun sehingga beliau disebut sebagai revolusioner.

Akan tetapi tidak berarti bahwa islam adalah revolusioner. Kita banyak memiliki bukti-bukti dari nash-nash suci bahwa islam tidak menghendaki seperti itu. Islam punya orientasi "taghyir tadriji", revolusi yang secara bertahap, bukan "ishlah fuja'i", reformasi yang bersifat mendadak dan revolusioner seperti itu. Buktinya Al-Qur'an diturunkan secara berangsur-angsur. Sehingga mendapat kritikan dari orang-orang kafir, mereka mengatakan, "lau la nuzzilal Qur'anu jumlatan wahidatan", Kenapa Qur'an tidak diturunkan secara sekaligus, tapi berangsur-angsur? Ini artinya bahwa reformasi yang dimaksudkan oleh islam adalah reformasi yang bersifat bertahap.

 Dan "tasyri' islami", pensyari'atan yang mengatur perilaku dan tingkah laku manusia itu baru diadakan dalam islam setelah Rasulullah saw pindah dari Makkah ke Madinah. Selama Rasulullah saw 13 tahun berada di Makkah tidak ada tasyri' karena risalah pada saat itu difokuskan kepada penanaman aqidah dan perbaikan akhlak. Tidak pada aturan-aturan praktis, belum ada.

Itu maksudnya karena yang diinginkan adalah perbaikan secara berangsur-angsur.

Para hadirin sekalian, ada orang bertanya, kenapa sih dalam islam kok ada perang? Perlu diketahui bahwa pada awalnya Rasulullah tidak diijinkan oleh Allah untuk berperang. Selama berada di Makkah walaupun gangguan sudah luar biasa selalu saja oleh Allah disuruh sabar.

Setelah beliau pindah barulah ada izin perang, "Udzina lil ladzina yuqataluna bi annahum dhulimu". Saya sepakat dengan pandangan para ulama yang mengatakan bahwa jihad dalam islam adalah untuk mempertahankan yang ada, bukan mewujudkan yang belum ada. "Lid-difa'i 'anil maujud" bukan "Li ijadi ma Lam yujad", Untuk mempertahankan apa yang sudah ada bukan untuk mengadakan yang belum ada. Yang dimaksud dengan yang sudah ada adalah negara. Ketika umat islam sudah punya negara, yaitu negara Madinah, barulah ijin perang itu dikeluarkan oleh Allah swt dalam rangka mempertahankan negara, sesungguhnya. Ini artinya bahwa mempertahankan negara sangat penting.

Para hadirin sekalian... Banyak syariat islam yang pengharamannya dilakukan secara bertahap. Salah satu contohnya adalah pengharaman Riba kemudian pengharaman Khamar.

Makan riba dan minum khamar itu memang budaya Arab pada saat itu yang sangat sulit untuk diberantas secara total. Oleh karena itu khamar misalnya pengharamannya tiga kali. Pertama-tama dikatakan, "Yas'alunaka 'anil khamri wal maysiri qul fihima itsmun kabirun wa manafi'un fin-nas wa itsmyhuma akbaru min naf'ihima". Hanya dikatakan bahwa khamar itu ada pisitif dan negatifnya tetapi negatifnya lebih besar. Itu tahapan pertama.

Tahapan yang kedua dikatakan, "Ya ayyuhal ladzina amanu la taqrabuz-zina wa antum sukara"

 Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu dekat-dekat dengan mesjid kalau kamu dalam keadaan mabuk. Ini tahap kedua.

Tahap ketiga, "Innamal khamru wal maysiru wal anshabu wal azlamu rijsun min 'amalis-syaithani". Ini tahapan-tahapan pengharaman khamar.

Demikian pula riba. Pada awal mula dikatakan, "La ta'kulur-riba adh'afan mudha'afatan". Jangan kamu makan riba secara berlipat ganda. Artinya pada saat itu riba yang diharamkan adalah yang berlipat-lipat. Tapi kemudian dikatakan, "Wa in tubtum fa lakum ru'usu amwalikum la tadhlimuna wa la tudhlamun", ini tahap yang terkhir. Artinya, riba meskipun tidak berlipat ganda tetap haram.

Para hadirin sekalian... Sayidina Umar bin Abdul Aziz pernah dikritik oleh puteranya karena tidak melakukan perubahan toral, karena masih menyisakan kezaliman dan penyelewengan yang dilakukan oleh para pendahulunya. 

Maka Umar bin Abdul Aziz mengatakan, "La ta'jal ya bunaya" jangan kamu tergesa-gesa, "Innallaha harramal khamra fil qur'ani marrataini", Allah ta'ala mengharamkan Khamar di dalam al-Qur'an dua kali, "Wa harramaha fis-tsalitsati" kemudian baru mengharamkannya pada tahap ketigkali. "Inni la uridu an ahmilal-khalqa ilal-haqqi jumlatan", Saya tidak mau mendorong umat ini untuk melakukan perbaikan perbaikan secara total, "Fa innahu dzalika yakunu fitnatan" karena hal itu akan melahirkan fitnah.

Ini merupakan Umar kedua, yang dikatakan luar biasa sehingga ada penya'ir mengatakan, "Halafaz-zamanu laya'tiyanna bi mitslihi furisyat yaminuka ya zamanu fa kaffirie", Zaman bersumpah bahwa ia pada saatnya akan melahirkan orang seperti Umar bin Abdul Aziz tetapi ternyata zaman melanggar sumpah karena sampai saat ini belum lahir orang yang seperti dia, oleh karena itu anda, wahai zaman, harus bayar kafarat. Inilah Umar bin Abdul Aziz.

Jadi, sekali lagi, intoleran, drastis dan revolusioner itu bukan merupakan watak islam, justru islam itu mengajarkan hal yang sebaliknya.

Para hadirin... Yang ketiga salah satu watak dari radikalisme adalah fanatik. Fanatik itu apa? Fanatik itu keinginan membela hanya untuk kepentingannya, pendapatnya, kelompoknya, meskipun mereka tidak benar. Islam menyatakan perang terhadap fanatisme.

Rasulullah saw bersabda, "Laisa minna man da'a ila ashabiyatin", Bukanlah bagian dari kami setiap orang yang mengajak kepada fanatisme.

Ada sebuah ayat yang sangat menarik yang ujung ayatnya berbunyi, "Wa la takun lil kha'inina khashiman", Janganlah engkau membela orang-orang yang berkhianat.

Ayat ini turun berkaitan dengan peristiwa Ti'mah bin Ubairik. Ti'mah bin Ubairik itu adalah seorang muslim, ia mencuri baju besi milik tetangganya kemudian dititipkan kepada orang Yahudi, akhirnya yang dituduh sebagai pencuri adalah si Yahudi tersebut.

Ti'mah dan keluarganya datang kepada Nabi saw menyampaikan berbagai argumentasi bahwa bukan Ti'mah pencurinya tetapi si Yahudi tersebut.

Seandainya Allah swt tidak segera memberikan informasi tentang persoalan yang sesungguhnya nyaris Nabi saw akan memberikan putusan bahwa Ti'mah tidak bersalah dan si Yahudi lah yang bersalah. Tetapi akhirnya (turun ayat) "wa la takun lil kha'inina khashiman", Kamu jangan membela orang-orang khianat.

Ini artinya islam tidak fanatik. Meskipun muslim kalau salah ya harus dihukum, meskipun Yahudi kalau dia benar harus dibela.

Disalin oleh : CB

(Hwmi Online)

Bagikan artikel ini

Silakan tulis komentar Anda