Hizbut Tahrir dan Kelompok Radikalis Meriang - HWMI.or.id

Sunday 26 December 2021

Hizbut Tahrir dan Kelompok Radikalis Meriang

HIZBUT TAHRIR MERIANG

Oleh: Gus Makmun Rasyid

Hizbut Tahrir Indonesia beserta bala tentaranya akan selalu meriang dan kepanasan jika pemimpin yang terpilih memiliki komitmen beragama dan bernegara yang kuat. Hal ini tidak saja terjadi dalam konteks terpilihnya Ketua PBNU, KH. Yahya Cholil Staquf di Lampung kemarin. Tetapi saat terpilihnya Ketua Umum PP Muhammadiyah, Prof. Haedar Nashir.

Keinginan aktivis-aktivis Hizbut Tahrir Indonesia dan pegiat “khilafah”—dari kelompok transnasional maupun lokal yang ingin menerapakannya dan menggantikan sistem demokrasi—menghendaki pemimpin tertinggi Muhammadiyah seperti model Prof. Din Syamsuddin (yang sekarang) dan Ustaz Abdul Somad Batubara dalam konteks Nahdlatul Ulama.

Kenapa keduanya? karena keduanya saat ini kerap memberikan angin segar bagi Hizbut Tahrir Indonesia melalui beberapa narasinya yang itu relevan dengan cita-cita HTI untuk mewujudkan sistem Khilafah Islamiyah. Salah satunya Pengasuh Pondok Nahdlatul Muslimat (NDM) Surakarta, Utsman Zahid as-Sidany.

Utsman Zahid As-Sidany merupakan salah satu “syabab”/simpatisan Hizbut Tahrir Indonesia yang bertempat tinggal di Surakarta. Dia memiliki wadah pendidikan yang diniatkan mencetak kader-kader militan dalam menyuarakan sistem Khilafah Islamiyah yang diwariskan Taqiyuddin Al-Nabhani. 

Pesantren yang diasuh Ustman Zahid bukan satu-satunya yang dibentuk para tokoh Hizbut Tahrir Indonesia, selain itu tentunya sangat banyak. Maka untuk mencegah terjadinya pembuatan pesantren yang mencetak kader anti-Pancasila dan sistem bernegara yang diterapkan di Indonesia, maka syarat legalitas pendirian pesantren dan wadah pendidikan di Indonesia harus tertulis seperangkat aspek yang berkaitan dengan komitmen kebangsaan-kenegaraan.

Akun HTI Yang meriang kepanasan

Saat Nahdlatul Ulama dipimpin KH. Said Aqil Siradj, kelompok Hizbut Tahrir Indonesia memang meriang, apalagi dengan terpilihnya KH. Yahya Cholil Staquf dan ditambah dengan keberadaan Menteri Agama Gus Yaqut Cholil Qoumas. Ketika Menteri Agamanya Jenderal TNI Fachrul Razi, kelompok HTI masih bisa bernafas panjang.

Apa yang dilakukan Hizbut Tahrir Indonesia saat ini? mereka menunggu—tepatnya mencari—celah penafsiran maupun kebijakan. Hal tersebut sudah biasa mereka lakukan dan pekerjaan ini mudah bagi mereka: taruh bumbu sedikit kemudian membuat provokasi dan framing di media sosial. Metode ini sudah diterapkan sejak era Abdul Qodim Zallum—pemimpin kedua tertinggi Hizbut Tahrir.

Berikutnya mereka mencari suara-suara orang baru atau lembaga yang mengeluarkan statement/konferensi pers yang bisa digiring untuk melegitimasi gerakan ideologis mereka. Contoh fenomena ini yang viral terkait soal “Khilafah dan Jihad” (tonton video saya di https://youtu.be/tbFvjuoMH1g). Dimana melalui keputusan yang dikeluarkan Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia ini mereka mendapat celah untuk menafsirkan yang berbeda dengan yang sesungguhnya diinginkan oleh Komisi Fatwa MUI itu sendiri. Ini bagian kecil dari strategi “Ghozwul Fikr” ala Hizbut Tahrir (Indonesia).

Ada strategi lainnya dengan sistem penafian “Mafhum Mukhalafah” dan “generalitas”. Ketika oknum di dalam Negara Indonesia melakukan kesalahan—walau sekecil pun—mereka akan mengatakan bahwa ini disebabkan karena demokrasi menjadi pilihan sistem bernegara. Tapi logika tersebut tidak mau dikembalikan kepada mereka. Misalnya orang-orang yang besar—dan dibesarkan dalam ruang Hizbut Tahrir, kemudian terlibat aksi tindak pidana kekerasan dan perkara perdata, mereka tidak mau digeneralkan bahwa itu kelemahan sistem Khilafah Islamiyah. Kasus ini pastinya akan banyak kalian temukan di lapangan dan media sosial.

Akun kelompok radikalis

Dan tidak kalah pentingnya gerakan anti-Nasionalisme beserta derivasinya. Misalnya pemerintah melalui moderasi beragama ingin mengukuhkan nasionalisme dengan beragam wujud. Penentangan kelompok Hizbut Tahrir terhadap moderasi beragama karena tidak saja soal mereka anti-Nasionalisme tetapi moderasi beragama akan menjadi penghambat gerakan ideologis mereka. Inilah yang saya bilang jika virus Khilafah yang ditawarkan Hizbut Tahrir ingin melemah maka perkuat moderasi beragama dan program-program terkait penguatan aspek kebhinekaan.

(Hwmi Online)

Bagikan artikel ini

Silakan tulis komentar Anda