Oleh Ayik Heriansyah
Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) menyatakan ada 198 pondok pesantren yang berafiliasi kepada kelompok radikal-teror dari 27.722 ponpes yang terdata di Direktorat Pondok Pesantren Kementerian Agama. (https://ditpdpontren.kemenag.go.id/pdpp).
Yakinlah bahwa 198 ponpes tersebut bukan berafiliasi ke NU, Muhammadiyah, Persis, Al-Irsyad dan ormas-ormas Islam pendiri NKRI lainnya. 198 pesantren tersebut bersanad ke NII, JI, dan JAD. Ini fakta dan data yang dapat diverifikasi ke BNPT.
Menutup mata terhadap fakta dan data pesantren yang berafiliasi kepada kelompok radikal-teror, bukan sikap bijak. Namun lebih tidak bijak lagi, bila kita mengatakan semua pesantren berpaham radikal dan berpotensi teror. Itu bukan saja buta fakta, melainkan sudah buta hati namanya.
Pesantren merupakan sistem pendidikan islam khas nusantara. Pesantren didirikan secara mandiri oleh kiai, guna mengamalkan dan menyebarkan ilmunya.
Pesantren sebenarnya wujud fisik dari ilmu dan idealisme kiai. Inilah yang membuat setiap pesantren memiliki kekhasan sendiri-sendiri.
Termasuk 198 pesantren yang terjaring dalam kelompok radikal-teror. Pendiri pesantren hendak menyebarkan paham-paham radikal-teror. Melakukan rekrutmen dan pengkaderan berbasis pesantren.
Selain masjid, pesantren adalah institusi sosial yang dekat dengan masyarakat kita dan punya nilai sakral. Masjid dan pesantren bagian tak terpisahkan bagi masyarakat, apalagi di desa-desa.
Masyarakat percaya, orang-orang yang ada di pesantren, baik-baik semua, sehingga kontrol masyakarat lemah. Masyarakat tidak mengetahui sepenuhnya, apa dan bagaimana kegiatan yang ada di dalam pesantren.
Sakralitas pesantren di mata masyarakat dilihat oleh kelompok radikal-teror sebagai benteng sosial kultural yang efektif dan efisien. Mereka mendirikan pesantren sebagai tempat yang aman untuk menyembunyikan diri, sambil mengerjakan agenda-agenda jangka menengah dan panjang mereka, yaitu menyebarkan propaganda dan kaderisasi.
Konsep pesantren yang didirikan dengan motif dan tujuan jahat, membuat onar dan makar, mengikuti konsep masjid dhirar yang dibangun kaum munafik di masa Rasulullah saw hidup di Madinah.
Allah swt mengungkap motif dan tujuan masjid dhirar pada ayat al-Quran yang berbunyi:
وَالَّذِينَ اتَّخَذُوا مَسْجِدًا ضِرَارًا وَكُفْرًا وَتَفْرِيقًا بَيْنَ الْمُؤْمِنِينَ وَإِرْصَادًا لِّمَنْ حَارَبَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ مِن قَبْلُ ۚ وَلَيَحْلِفُنَّ إِنْ أَرَدْنَا إِلَّا الْحُسْنَىٰ ۖ وَاللَّهُ يَشْهَدُ إِنَّهُمْ لَكَاذِبُونَ
Dan (di antara orang-orang munafik itu) ada orang yang mendirikan masjid untuk menimbulkan kemadharatan (pada orang-orang Mukmin), untuk kekafiran dan memecah belah antara orang-orang Mukmin serta menunggu kedatangan orang yang telah memerangi Allah dan Rasul-Nya sejak dahulu. Mereka sesungguhnya bersumpah,”kami tidak menghendaki selain kebaikan.”Dan Allah menjadi saksi bahwa sesungguhnya mereka itu adalah pendusta (dalam sumpahnya).[at-Taubah/9:107].
Pesantren-pesantren teror yang tujuan akhirnya ingin memecah belah Indonesia adalah bentuk lain dari masjid dhirar. Meski cuma 198 pesantren, yaitu 0,7% dari keseluruhan pondok pesantren yang terdata di Kemenag, tapi bila dibiarkan tumbuh berkembang, akan membahayakan masyarakat, bangsa dan negara. Butuh peran kita semua untuk mengawasinya.