3 Sesat Pikir Khalid Basalamah Soal Wayang yang Harus Dimusnahkan - HWMI.or.id

Thursday 17 February 2022

3 Sesat Pikir Khalid Basalamah Soal Wayang yang Harus Dimusnahkan

Oleh:Abdul Rahman Harahap in Suara Kita

3 Sesat Pikir Khalid Basalamah Soal Wayang yang Harus Dimusnahkan

Dikutip dari jalandamai.org, Pernyataan Khalid Basamalah tentang “wayang perlu dimusnahkan” mendapat tanggapan dari berbagai kalangan. Banyak pihak menilai, Basalamah tidak paham soal wayang. Ada juga komentar yang menyebut bahwa ada nafas Islam dalam wayang yang tidak disadari oleh Basalamah, dan sederet pernyataan lainnya.

Meski Basalamah sudah minta maaf soal statementanya itu, ada tiga hal yang perlu dijelaskan kepada umat, sebab ini menyangkut prinsip dalam berdakwah. Sekaligus tiga hal ini merupakan sesat pikir Basalamah dalam melihat wayang.

Pertama,  Islam sejak dini sejatinya tidak terlalu mempersoalkan soal bentuk. Yang lebih diutamakan oleh Islam adalah soal substansi.

Inilah sebabnya, Islam bisa masuk ke mana saja. Ia tidak kaku dan baku, tetapi bisa beradaptasi sesuai dengan budaya dan realitas yang hidup.

Hal ini juga yang sudah dipraktekkan oleh para walisongo. Mereka bisa membaur dengan budaya lokal, serta bisa dengan cair mempergunakan kearifan lokal sebagai medium berdakwah.

Kedua, sarana dan tujuan. Wayang itu adalah sarana, tujuan akhirnya adalah membumikan ajaran agama. Dalam kaidah agama, lil wasail hukm al-maqasid, status hukum sarana itu sama hukumnya dengan status hukum tujuan.

Islam membuka lebar-lebar jalan untuk menggunakan sarana atau medium positif untuk menggapai tujuan positif pula. Fakta hsitoris menunjukkan, para walisongo berhasil dalam hal ini. Berbagai medium lokal yang tidak jauh dari masyarakat digunakan dalam berdakwah.

Ketiga, fakta bahwa Islam lahir bukan dari ruang yang hampa. Ini adalah salah satu fakta yang sering diabaikan.  Islam muncul pada masyarakat yang sudah berbudaya, mempunyai adat-istiadat, tradisi, dan lokalitasnya. Meski ajarannya bersifat universal dan ditujukan kepada semua manusia, tetapi ia pertama sekali berhadapan dengan lokalitas masyarakat yang diajaknya.

Bahkan sering terjadi, peristiwa lokalitas atau tradisi lokal dan kebiasaan masyarakat waktu itu menjadi “asbab al-nuzul (sebab turun) dan asbab al-wurud (sebab datang)” dari doktrin Islam itu sendiri.

Metode Dakwah Nabi

Dalam konteks inilah patut kita bertanya: Bagaimana Nabi memperlakukan budaya lokal msyarakat? Atau bagaimana dakwah Nabi menghadapi budaya lokal yang sudah ada dan lama hidup pada umat yang diajaknya?

Para ulama, terutama ushuliyun, menyebut ada tiga metode dakwah Nabi dalam melihat dan memperlakukan budaya, tradisi, ada-istiadat masyarakat yang diajaknya. Yang disebut dengan 3 T (Tahmil, Taqyir, dan Tahrim).

Pertama, tahmil (akomodatif), yakni Nabi bersikap positif terhadapnya. Nabi mengambil, mengakomodasi, dan memperbolehkan tradisi lokal waktu itu sebagai bagian dari ajaran agama. Pendek kata, tahmil adalah metode dakwah Nabi yang melegitimasi budaya lokal dan absah dipraktekkan oleh para sahabatnya.

Banyak tradisi lokal yang diakomodir oleh Nabi. Mulai dari praktek jual-beli, berbagai bentuk akad dan transaksi perdagangan dan bisnis waktu itu, semisal mudharabah, musyarakah, wadiah; tradisi penghormatan bulan-bulan tertentu, sampai pada tradisi bagimana cara menghormati tamu dan delegasi dari wilayah lain.

Kedua, tagyir (akomodatif-selektif). Metode dakwah ini mengambil budaya lokal sembari berusaha untuk mengubahnya agar sesuai dengan ajaran agama. Jika dibuat hitung-hitungan, metode inilah yang paling banyak dilakukan oleh Nabi.

Tradisi ritual haji misalnya, itu semua sudah ada pada budaya dan adat masyarakat yang diajak Nabi. Tradisi ini tetap dipertahankan, tetapi membuang apa-apa yang menabrak nilai-nilai agama.

Ketiga, tahrim (menolak; mengharamkam). Metode dakwah ini dilakukan Nabi ketika budaya lokal itu bertentangan dengan semangat ajaran agama. Mengapa praktek riba yang sudah membudaya pada masyarakat ditolak oleh Nabi? Sebab, ia bertolak belakang dengan semangat keadilan dan kemanusiaan yang ada pada Islam. 

Akomodatif-Selektif

Dari ketiga metode dakwah Nabi hanya satu yang bersifat konfrontatif terhadap budaya lokal. Dua metodenya bersifat akomodatif dan bersahabat dengan budaya lokal. Hal semacam ini, sebagaimana yang dikritik keras oleh Khalil Abdul karim dalam kitabnya Al-Juzur al-Tarikhiyah li al-Syari’ah al-Islamiyah, yang tidak disadari oleh para pendakwah (du’at).

Para pendakwah (du’at), sibuk mempromosikan Islam yang lepas dari historitasnya dan seolah-olah datang dari ruang kosong dan turun begitu saja dari langit, tanpa terikat dengan lokalitasnya. Akibatnya, Islam diperlakukan kurang bersahabat dengan tradisi yang hidup dari masyarkat.

Fenomena sebagai ustad dan penceramah yang suka menbid’ah-bid’ahkan amalan pihak lain; mengafir-sesatkan ajaran atau kepercayaan orang lain; ini tak boleh, itu tak boleh; ini haram, itu haram, –adalah suatu sikap ketidakpahaman terhadap metode dakwah Nabi.

Para walisongo, sebab mereka paham akan metode dakwah Nabi, mereka bersikap akomodatif-seleketif terhadap budaya lokal. Tak perlu bersifat anti, selama isi dari budaya lokal itu tidak bertolak belakang dengan semangat ajaran agama. Bukankah yang penting itu isinya, bukan kulitnya?

Berapa banyak kearifan lokal, tradisi, dan adat-istidat, yang tetap dipertahankan oleh para walisongo ketika mendakwahkan Islam. Tradisi selametan, tahlilan, kenduri, gafura, dan sederet tradisi lainnya yang diambil dan “diislamkan” oleh para walisongo.

Jika seandainya para walisongo sama kelakukannya dengan para ustad yang gemar membid’ah-bid’ahkan dan mengafir-sesatkan itu, pasti Islam tidak akan diterima di bumi Nusantara ini. Buktinya bisa dilihat sendiri, yang terjadi malah sebaliknya, Islam tersebar dengan cara-cara yang arif dan bijaksana.

(Hwmi Online)

Bagikan artikel ini

Silakan tulis komentar Anda