Ilustrasi |
Melawan Politisasi Agama yang Menjadi Embrio Ekstremisme Kekerasan
Dikutip dari jalandamai.org, Ekstremisme kekerasan (violent extremism) yang menjadi basis gerakan terorisme tidak muncul begitu saja. Salah satu faktor utama pemicu munculnya ekstremisme kekerasan berbasis agama itu ialah adanya distorsi dan manipulasi ajaran, doktrin, dan simbol agama. Dalam konteks Indonesia, wujud paling vulgar dari manipulasi dan distorsi agama itu ialah politisasi agama.
Jika diilustrasikan, ekstremisme kekerasan ialah buah dari pohon besar bernama radikalisme yang kokoh berdiri karena ditopang akar bernama konservatisme. Konservatisme sebagai akar radikalisme ini memiliki banyak ciri. Mulai dari anti-Pancasila dan NKRI, berideologi takfiri, berkarakter intoleran, serta gemar melakukan kekerasan.
Jika diamati, praktik politisasi agama di Indonesia selama ini disokong oleh dua kekuatan. Pertama, para politisi berhaluan ultra-konservatif yang menjadikan agama sebagai komoditas politik dan alat kampanye untuk mempengaruhi publik. Kedua, kelompok radikal yang menggunakan isu dan sentimen keagamaan untuk menggoyang pemerintaha yang sah. Dalam praktiknya di lapangan kedua kelompok ini saling bekerjasama dan terjadi semacam simbiosis mutualistik.
Di satu sisi, para politisi berhaluan ultra-konservatif kerap mendekat dan berafiliasi dengan gerakan-gerakan radikal yang dibalut dengan jargon-jargon populis seperti bela agama, bela ulama, bela umat dan sebagainya. Di sisi lain, gerakan-gerakan radikal banyak mendapatkan sokongan finansial dari para politisi konservatif yang haus kekuasaan.
Jejaring, kelindan, dan simbiosis antara kelompok radikal dan politisi konservatif ini telah melahirkan sejumlah residu persoalan. Mulai dari lunturnya sakralitas agama lantaran ditarik ke dalam ranah politik praktis yang identik dengan intrik, konspirasi, dan hal-hal “kotor” lainnya. Rusaknya sistem demokrasi lantaran tergerus oleh sentimen politisasi identitas. Sampai munculnya polarisasi sosial-politik yang potensial melahirkan perpecahan dan konflik dalam skala luas.
Tiga Strategi Mencegah Politisasi Agama
Mencegah ekstremisme kekerasan berbasis agama mustahil dilakukan tanpa terlebih dahulu menganulir politisasi agama. Tersebab, politisasi agama merupakan embrio ekstremisme kekerasan tersebut. Dalam bukunya Islam Tanpa Sektarianisme, Azyumardi Azra, politisasi agama dapat dicegah dengan melakukan rekonsiliasi internal dalam agama itu sendiri. Meliputi rekonsiliasi mazhab, aliran, golongan, organisasi dan faksi-faksi dalam internal agama (Islam). Azra berpendapat bahwa rekonsiliasi internal agama dapat menutup celah bagi masuknya anasir atau entitas yang ingin mengadu-domba dan memprovokasi umat beragama dengan motif politik.
Sedangkan menurut K. H. Machrus Ali, pengurus Ponpes Hidayatul Mubtadi’ien Pasuruan, politisasi agama bisa dicegah dengan mempererat jalinan antara pemimpin (umara),tokoh agama (ulama’) dan masyarakat (ummat). Pendapat Kiai Machrus ini relevan mengingat gerakan politisasi agama salah satunya mewujud pada upaya mengadu-domba pemimpin, tokoh agama dan masyarakat. Kaum radikal dan para politisi konservatif senantiasa menyerang pemerintah dengan berbagai isu keagamaan, seperti kriminalisasi ulama, rezim anti-Islam sampai Islamofobia.
Manuver itu dilakukan demi meruntuhkan kepercayaan publik pada pemimpinnya sendiri. Lemahnya legitimasi pemerintah di hadapan rakyatnya itulah yang akan menjadi celah bagi bangkitnya kekuatan radikal-ekstrem-teroris. Maka, mempererat jalinan ulama, umara, dan ummat sebagaimana disampaikan Kiai Machrus kiranya merupakan langkah tepat mencegah politisasi agama.
Terakhir, mengutip sosiolog Anthony Giddens dalam bukunya The Third Way, mencegah politisasi agama yang mengarah pada ekstremisme kekerasan dapat dicegah melalui pendekatan lunak (soft-approach). Yaitu dengan mengajak kelompok konservatif-radikal untuk berdialog. Menurut Giddens, pendekatan kekerasan dalam menghadapi kaum konservatif-radikal hanya akan melahirkan lingkaran kekerasan baru yang sukar diputus.
Dalam konteks ini, Giddens menawarkan satu konsep yang disebut “monopoli”. Monopoli yang dimaksud adalah, pemerintah perlu memperoleh informasi yang mendalam tentang bagaimana suatu kelompok radikal bekerja, kemudian mendapatkan akses infiltrasi sehingga pemerintah tidak hanya bisa memantau, tetapi juga menindak atau bahkan mengendalikan, jika terlihat ada indikasi yang berpotensi membahayakan negara atau masyarakat.
Melawan politisasi agama jelas bukan perkara mudah. Tersebab, politisasi agama telah menjadi semacam tren politik global. Francis Fukuyama menyebut bahwa pada abad ke-20 politik lebih banyak dilatari oleh ide-ide berbasis ideologi ekonomi. Sebaliknya, di era abad ke-21 ini, politik lebih banyak digerakkan oleh sentimen identitas, salah satunya agama. Maka dari itu, ketiga strategi di atas idealnya dipadukan dalam satu kerangka yang komprehensif.