Dua Bahaya Ceramah Radikal; Politisasi dan Mabokrasi Agama - HWMI.or.id

Sunday 13 March 2022

Dua Bahaya Ceramah Radikal; Politisasi dan Mabokrasi Agama

Oleh: Siti Nurul Hidayah in Suara Kita

Dua Bahaya Ceramah Radikal; Politisasi dan Mabokrasi Agama

Presiden Joko Widodo tampanya tengah gundah oleh fenomena mewabahnya ceramah agama radikal. Dalam forum Rapat Pimpinan TNI-Polri pekan lalu, Presiden Jokowi menegaskan agar para istri prajurit TNI-Polri tidak sembarangan mengundang penceramah agama. Jangan atas nama demokrasi, keluarga TNI-Polri tersusupi paham radikal.

Pesan ini sekaligus menegaskan bahwa infiltrasi ceramah agama radikal di masyarakat sudah sedemikian mengkhawatirkan. Jika lingkungan TNI dan Polri yang notabene merupakan pilar pertahanan dan keamanan negara saja tidak steril dari ceramah radikal, lantas bagaimana di kalangan masyarakat umum? Demikian kiranya pesan yang ingin ditegaskan oleh presiden.

Kegundahan Presiden Jokowi itu jelas valid adanya. Fenomena ceramah agama radikal yang mewabah belakangan ini memang tidak bisa dipandang sepele. Para penceramah agama radikal tidak hanya menghadirkan wajah keberagamaan yang kaku, eksklusif, dan intoleran. Lebih dari itu, ceramah agama juga menghadirkan residu lain yang tidak kalah berbahayanya.

Bahaya Ceramah Radikal

Jika diidentifikasi secara garis besar, ada dua bahaya ceramah agama radikal. Pertama, yaitu munculnya praktik politisasi agama, yaitu menjadikan ajaran, doktrin, dan simbol agama sebagai alat untuk meraih tujuan politik. Sudah bukan rahasia lagi bahwa para penceramah agama kerap membajak mimbar dakwah untuk mempropagandakan gerakan politik tertentu.

Mereka memakai dalil-dalil keagamaan, mulai dari ayat al Quran dan hadist untuk menyerang lawan politik. Tidak terkecuali mendeskreditkan pemerintahan yang sah. Diseretnya agama ke ranah politik praktis jelas bukan tanpa risiko. Politisasi agama tidak diragukan telah melahirkan segregasi sosial dan polarisasi politik. Jika tidak dimitigasi, segregasi dan polarisasi itu bukan tidak mungkin akan berujung pada konflik bahkan kekerasan.

Bahaya ceramah agama radikal lainnya ialah menguatnya gerakan mobokrasi berbasis isu keagamaan. Dalam leksikon ilmu politik, mobokrasi diartikan sebagai gerakan yang menjadikan kekuataan massa sebagai alat untuk menekan kebijakan pemerintahan yang sah. Dalam titik tertentu, gerakan mobokrasi juga bisa dipakai sebagai kekuatan untuk menggoyang eksistensi pemerintahan yang sah.

Mobokrasi ialah patologi (penyakit) dalam sistem demokrasi. Gerakan memobilisasi massa yang bertujuan menekan pemerintah rawan menimbulkan gesekan. Baik gesekan horizontal, yakni benturan antar-kelompok masyarakat, maupun gesekan vertical, yaitu antara warga dan pemerintah. Gejala mobokrasi ini bisa kita lihat dari fenomena gerakan 212 yang gemar mengeksploitasi isu keagamaan demi agenda politik kekuasaan.

Dalam beberapa hari terakhir kita menyaksikan bagaimana gerakan 212 kembali bergeliat pasca gaduh polemic aturan pengeras suara masjid yang dikeluarkan oleh Kementerian Agama. Berbagai elemen masyarakat turun ke jalan melakukan demonstrasi menuntut Menteri Agama, Yaqut Cholil Qoumas mundur dari jabatannya. Mereka berdalih aksi demo itu dilakukan atas nama membela agama. Padahal, mudah untuk menebak ke mana arah gerakan mobilisasi massa tersebut.

Mengedukasi Umat Islam

Politisasi dan mobokrasi agama sebagai residu dari fenomena ceramah radikal ialah ancaman terhadap keutuhan bangsa dan negara. Maka, pesan presiden ihwal pentingnya menangkal penceramah radikal idealnya dipahami sebagai sebuah bentuk kewaspadaan sekaligus kesiapsiagaan nasional. Ini artinya, seluruh elemen bangsa wajib berperan aktif dalam menangkal ceramah radikal.

Jalan paling efektif untuk menangkal ceramah agama radikal ialah dengan mengedukasi umat agar tidak memberikan panggung bagi para ustad atau ulama provokatif-radikal. Di alam demokrasi seperti saat ini, para penceramah agama radikal kerap berlindung di balik idiom kebebasan berpendapat dan berekspresi. Di satu sisi, mereka sangat anti-demokrasi, namun di sisi lain mereka justru membajak kebebasan ruang publik dengan menebar propaganda kebencian dan provokasi.

Membangun kesadaran umat beragama (Islam) untuk tidak memberikan ruang dan panggung bagi penceramah radikal ialah hal mutlak yang harus diupayakan. Umat Islam harus selektif dalam memilih penceramah agama. Kriteria memilih penceramah agama hendaknya tidak hanya dilatari oleh faktor tampilan luar, retorika dan gaya komunikasi para penceramah agama radikal yang umumnya memiliki daya pikat kuat.

Sebaliknya, memilih penceramah agama hendaknya ditentukan dari kualitas keilmuan, cara pandang keagamaan, serta komitmennya pada kebangsaan. Ustad atau ulama dengan kualitas keilmuan yang tinggi, spritualitas yang dalam, serta komitmen kuat pada kebangsaan niscaya akan menghadirkan ceramah agama yang tidak hanya mencerahkan, namun juga menyejukkan dan mempersatukan.

(Hwmi Online)

Bagikan artikel ini

Silakan tulis komentar Anda