Ustadz Wahabi Haramkan Bedug, Ini Penjelasan Kiai Ma’ruf Khozin - HWMI.or.id

Tuesday, 10 May 2022

Ustadz Wahabi Haramkan Bedug, Ini Penjelasan Kiai Ma’ruf Khozin

Ustadz Wahabi Haramkan Bedug, Ini Penjelasan Kiai Ma’ruf Khozin

Oleh: Syaifullah(NU Online Jatim)

Kiai Ma’ruf Khozin untuk kesekian kalinya memberikan penjelasan terhadap tuduhan atas tradisi masyarakat yang diklaim sebagai haram. Yang terbaru adalah masalah bedug. Karena ada ustadz dari kalangan Wahabi yang menyebutkan bahwa bedug adalah haram.

“Mari pahami dulu apa bedug dan fungsinya,” katanya mengawali di status Facebook, Senin (09/02/2022).

Ketua Pengurus Wilayah (PW) Aswaja NU Center Jawa Timur ini mengemukakan bahwa ada sejumlah hal yang harus dipahami. Hal tersebut penting sebelum memvonis amaliah warga disebut haram atau sebaliknya.

Baca juga: https://www.hwmi.or.id/2022/05/merayakan-hari-raya-ketupat-bagaimana.html

“Kemudian secara hukum lebih dekat ke alat musik yang diharamkan ataukah ditemukan padanannya di zaman Nabi,” terangnya.

Menurutnya, semua kalangan jangan langsung menyatakan bahwa tradisi maupun amaliah tidak ada dalam Islam.

“Lampu yang kita pakai di masjid pun bukan buatan ulama sarjana Muslim. Microphone juga bukan hasil temuan orang Timur Tengah,” sergahnya.

Lebih lanjut, alumnus Pesantren Al-Falah, Ploso, Kediri tersebut menjelaskan soal pengertian bedug dan fungsinya. Salah satu pendiri sekaligus Rais Akbar Nahdlatul Ulama, Hadratussyekh Hasyim Asy'ari menulis dalam kitab Risalah al-Jasus fi Bayani Hukmi an-Naqus sebagai berikut: 

فِي حُكْمِ ضَرْبِ الطَّبْلِ الْكَبِيْرِ الَّذِي اسْتَعْمَلَهُ مُسْلِمُوْ اَرْضِ جَاوَاهْ فِي مَسَاجِدِهِمْ لِلاِعْلَامِ بِدُخُوْلِ الْوَقْتِ وَالدَّعْوَةِ اِلَى الْجَمَاعَةِ وَهِيَ خَشَبَةٌ كَبِيْرَةٌ طَوِيْلَةٌ جِدًّا يُنْحَتُ جَوْفُهَا نَحْتًا وَاسِعًا وَيُجْعَلُ عَلَى وَجْهَيْهَا جِلْدُ نَحْوِ جَامُوْسٍ وَيُسَمَّرُ عَلَيْهَا بِمَسَامِرَ كَبِيْرَةٍ مِنْ خَشَبٍ تُضْرَبُ بِخَشَبَةٍ صَغِيْرَةٍ فَيَخْرُجُ مِنْهَا صَوْتٌ دَوِيٌّ .... قُلْتُ ضَرْبُ الطَّبْلِ الْمَذْكُوْرِ لِلْغَرَضِ الْمَذْكُوْرِ مُبَاحٌ نَطَقَتْ بِذَلِكَ النُّقُوْلُ الْمَذْكُوْرَةُ بَلْ هُوَ دَاخِلٌ فِي اْلبِدْعَةِ الْمَحْمُوْدَةِ (الرسالة المسماة بالجاسوس في بيان حكم الناقوس 13- 14 للشيخ هاشم اشعري مؤسس جمعية نهضة العلماء)

Artinya: Hukum tentang bedug yang digunakan oleh umat Islam Jawa di masjid-masjid mereka, untuk memberi tahu masuknya waktu salat dan mengajak berjamaah. Bedug adalah kayu berukuran besar yang sangat panjang, yang di dalamnya diberi lubang yang luas yang kedua tepinya ditutupi semisal kulit kerbau, dipaku dengan beberapa paku bersa yang terbuat dari kayu, kemudian ditabuh dengan kayu kecil, sehingga mengeluarkan suara gemuruh… Saya katakan: Menabuh bedug dengan tujuan di atas adalah boleh, bahkan masuk dalam bid’ah yang terpuji. (Syaikh Hasyim Asy’ari, Risalah al-Jasus fi Bayani Hukmi an-Naqus, halaman: 13-14).

KH M Hasyim Asy’ari yang juga kakek KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur ini menilai bedug tidak bisa disamakan dengan milik non-muslim berupa lonceng. 

“Mbah Hasyim tidak membolehkan kentongan karena kentongan yang lebih mirip pada media penanda ibadah agama lain. Tapi kentongan ini dibolehkan oleh KH Mas Kumambang, Gresik, yang saat itu sebagai Wakil Rais Akbar Nahdlatul Ulama,” ungkap Kiai Ma’ruf.

Baca juga: https://www.hwmi.or.id/2022/05/lepet.html

Kalau diteliti lebih dalam, mengapa Kiai Hasyim cenderung membolehkan?

“Sebab bedug ini lebih dekat kesamaannya dengan terbangan,” ungkap dia.

Kiai Ma’ruf kemudian menyertakan hadits berikut: 

حَدِيْثُ (أَعْلِنُوْا النِّكَاحَ وَاجْعَلُوْهُ فِي الْمَسَاجِدِ وَاضْرِبُوْا عَلَيْهِ بِالدُّفِّ) التُّرْمُذِي وَضَعَّفَهُ وَابْنُ مَاجَهْ وَابْنُ مَنِيْعٍ وَغَيْرُهُمْ عَنْ عَائِشَةَ مَرْفُوْعًا بِهَذَا وَهُوَ حَسَنٌ فَرَاوِيْهِ عِنْدَ التُّرْمُذِي وَإِنْ كَانَ ضَعِيْفًا فَإِنَّهُ قَدْ تُوْبِعَ كَمَا فِي ابْنِ مَاجَهْ وَغَيْرِهِ (المقاصد الحسنة للسخاوي ص: 125)

Artinya: Ramaikanlah pernikahan, jadikan pernikahan di masjid dan tabuhkanlah dengan terbang. (HR Turmudzi, ia menilainya dhaif dan ulama yang lain juga mendhaifkannya). Ahli hadits al-hafidz as-Sakhawi telah menyatakan bahwa hadits ini juga diriwayatkan oleh Ibnu Majah, Ibnu Mani' dan lainnya. Dengan demikian, hadits ini berstatus hasan karena diperkuat atau mutaba'ah oleh riwayat lain. (Lihat: Al-Maqashid al-Hasanah, halaman: 125)

(Hwmi Online)

Bagikan artikel ini

Silakan tulis komentar Anda