Membidahkan 17 Agustus
Oleh: KH Ma'ruf Khozin (Direktur Aswaja NU Center PWNU Jatim)
Sejak kecil dan masa mondok saya selalu mendengar para sesepuh kita ikut perang melawan penjajah dan meraih kemerdekaan pada 17 Agustus. Harta, jiwa dan raga adalah sumbangan para pahlawan dan pejuang bangsa ini.
Tiba-tiba datang sekelompok orang yang tidak menyumbang apa-apa untuk bangsa ini malah membidahkan perayaan 17 Agustus.
Benarkah Bidah? Kita simak bersama penjelasan ulama Al-Azhar, Mesir:
ﻭاﻟﻤﻨﺎﺳﺒﺎﺕ اﻟﺘﻰ ﻳﺤﺘﻔﻞ ﺑﻬﺎ ﻗﺪ ﺗﻜﻮﻥ ﺩﻧﻴﻮﻳﺔ ﻣﺤﻀﺔ ﻭﻗﺪ ﺗﻜﻮﻥ ﺩﻳﻨﻴﺔ ﺃﻭ ﻋﻠﻴﻬﺎ ﻣﺴﺤﺔ ﺩﻳﻨﻴﺔ، ﻭاﻹﺳﻼﻡ ﺑﺎﻟﻨﺴﺒﺔ ﺇﻟﻰ ﻣﺎ ﻫﻮ ﺩﻧﻴﻮﻯ ﻻ ﻳﻤﻨﻊ ﻣﻨﻪ ﻣﺎ ﺩاﻡ اﻟﻘﺼﺪ ﻃﻴﺒﺎ، ﻭاﻟﻤﻈﺎﻫﺮ ﻓﻰ ﺣﺪﻭﺩ اﻟﻤﺸﺮﻭﻉ
Hari-hari yang diperingati ada yang murni bersifat duniawi dan bersifat agama, atau yang bersentuhan dengan agama. Islam, dalam menyikapi hal-hal yang bersifat dunia, tidak melarang selama tujuannya benar dan pelaksanaannya berada dalam koridor syar'i (Fatawa Al-Azhar, 10/160)
Baca juga: https://www.hwmi.or.id/2022/08/bangkit-dan-pulih-dari-intoleransi.html
Tujuannya sudah jelas diperbolehkan karena mensyukuri kemerdekaan. Sekarang pelaksanaannya, jika diisi dengan doa bersama dan makan bersama, tidak ada yang dilanggar dalam Syariat.
Kalau diisi dengan musik, maka hukum musik masih khilafiyah, ikuti saja ulama yang membolehkan. Tapi jika sampai dengan menenggak minuman keras, pesta yang sampai bersenggolan antara lelaki dan wanita, maka yang dilarang adalah perbuatan mungkarnya tersebut, bukan 17-nya.
Tapi kan meniru negara-negara Barat sehingga berlaku dalil tasyabuh bil kuffar? Jawab saja tasyabuh bil muslimin, sebab Arab Saudi juga merayakan Hari Jadi Mamlakah Saudiyah pada 23 September.
Baca juga:https://www.hwmi.or.id/2022/08/akankah-abu-bakar-baasyir-bisa.html