Oleh: Nurrochman in Suara Kita
Pertaubatan Abu Bakar Ba’asyir; Momentum Mengakhiri Konfrontasi Islam dan Pancasila
Barangkali tidak ada tokoh sebesar Abu Bakar Ba’asyir (ABB) dalam sejarah gerakan radikalisme-terorisme di Indonesia. ABB boleh jadi ialah benang merah gerakan radikal-terorisme sejak era Orde Baru sampai era Reformasi. Di era Orde Baru, ia melawan pemerintah dengan menolak pemberlakuan asas tunggal Pancasila. Akibatnya, ia terpaksa lari ke negeri jiran Malaysia untuk menghindari aparat keamanan.
Di era Reformasi, ketika keran kebebasan dibuka lebar, ABB seolah mendapat momentum untuk naik ke panggung. Ia menginisiasi sejumlah organisasi, mulai dari Majelis Mujahidin Indonesia, Jamaah Ansharut Tauhid sampai Jamaah Ansharud Daulah. Semua itu dilakukan dengan satu tujuan; mengganti Pancasila dengan ideologi Islam, dan mengganti NKRI dengan khilafah Islamiyyah. Namun, kabar terakhir menyebut ABB telah bertaubat dari sikapnya yang anti-Pancasila.
Dalam video pendek yang tersebar di media sosial, ia menyatakan telah mengubah pandangannya dari menolak ke menerima Pancasila. Ia mengaku, kini tidak lagi menganggap Pancasila syirik, namun meyakini bahwa dasar Pancasila ialah tauhid. Keyakinan ini menurutnya dilandasi oleh sikap para ulama pendahulu yang juga menerima Pancasila.
Baca juga: https://www.hwmi.or.id/2022/08/teladan-unik-ulama-nu-menurut-gus-yahya.html
Menelaah Pertaubatan Abu Bakar Ba’asyir
Pertaubatan sosio-politis ABB dari yang tadinya menolak sampai menerima Pancasila ini kiranya bisa dibaca setidaknya dari tiga perspektif. Pertama, dari sisi individu, perubahan paradigma dalam pemikiran maupun keyakinan atas ideologi nyatanya membutuhkan proses yang variatif. Ada orang yang berubah haluan atau pandangan dalam sekejap. Sebaliknya, ada orang yang membutuhkan nyaris seluruh usianya untuk berubah pandangan atau sikapnya.
Dalam konteks ABB, ia membutuhkan waktu dan proses yang panjang untuk mengubah pandangannya terhadap Pancasila. Ia harus mengalami pergulatan batin dan pemikiran, bahkan menikmati sel penjara, sebelum sampai di kesimpulan bahwa Pancasila tidak bertentangan dengan tauhid (Islam). Perjalanan panjang ini membuktikan bahwa tidak ada yang final dalam pemikiran. Sebagai individu kita wajib untuk terus mempertanyakan ulang pemikiran dan keyakinan kita.
Kedua, pertaubatan ABB ini kiranya juga bisa dimaknai sebagai keberhasilan pemerintah dalam strategi deradikalisasi dan kontra-narasi ekstremisme. Selama ini, masih banyak pihak yang sinis dengan agenda deradikalisasi dan kontra-narasi yang dikomandoi oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Bahkan, ada pihak-pihak yang menuding agenda deradikalisasi dan kontra-narasi ekstremisme hanyalah akal-akalan BNPT untuk mendapatkan anggaran dari pemerintah.
Asumsi negatif itu kini terbantahkan sendirinya dengan pertaubatan ABB yang menerima Pancasila. Hukuman penjara 10 tahun tentu menjadi salah satu faktor mengapa akhirnya ia mau menerima Pancasila. Dan, gencarnya program deradikalisasi serta kontra-narasi ekstremisme yang digaungkan pemerintah selama ini tentu ikut menyumbang andil pada perubahan paradigma ABB terhadap Pancasila.
Baca juga: https://www.hwmi.or.id/2022/08/asal-kata-suro-dan-asyura.html
Mengakhiri Narasi Konfrontatif Islam dan Pancasila
Ketiga, pertaubatan ABB ini kiranya juga bisa menjadi momentum untuk mengakhiri debat klasik tentang relasi agama dan negara atau Pancasila dan Islam. Selama ini, perdebatan terkait Islam dan Pancasila kerap mengerucut pada dua narasi. Di satu sisi ada narasi integratif yang memandang Islam dan Pancasila sebagai dua hal yang tidak dapat dipisahkan, dan saling menjiwai satu sama lain. Di sisi lain, ada pula narasi konfrontatif yang memandang Islam dan Pancasila sebagai dua entitas yang berbeda dan bertolak-belakang. Narasi konfrontatif ini umumnya meyakini bahwa Pancasila tidak sesuai dengan ajaran Islam (syirik).
Narasi konfrontatif inilah yang menjadi latar di balik fenomena gerakan radikal-terorisme di Indonesia. Persepsi bahwa Pancasila bertentangan dengan Islam telah menjadi semacam bahan bakar yang menyulut api pemberontakan. Mulai dari pemberontakan NII atau DI/TII, sampai gerakan teroris kontemporer dalam berbagai wujudnya, mulai dari Jamaah Islamiyyah, Jamaah Ansharut Tauhid hingga Jamaah Ansharud Daulah dan sejumlah kelompok teroris lainnya.
Selama masih ada narasi konfrontatif yang menempatkan Pancasila dan Islam dalam dua kutub berbeda, dipastikan paham radikal dan gerakan teror masih akan terus eksis. Maka, mengakhiri perdebatan klise seputar relasi Islam dan Pancasila ialah ikhtiar penting dalam memberangus akar terorisme. Pernyataan ABB yang menerima Pancasila diharapkan bisa berdampak luas. Selian figurnya yang kharismatik, ia juga dikenal memiliki pengikut yang militan.
Baca juga: https://www.hwmi.or.id/2022/08/tegas-kasatprovost-nasional-laporkan.html
Maka, penerimaan ABB terhadap Pancasila ini kiranya bisa menjadi semacam momentum untuk mengakhiri narasi konfrontatif antara Islam dan Pancasila. Dengan begitu, tidak aka nada lagi pihak-pihak yang menarasikan Pancasila dan Islam sebagai dua entitas yang berlawanan. Titik balik ABB dalam memahami Pancasila dan Islam ini kiranya bisa menginspirasi munculnya kesadaran kolektif publik untuk menerima Pancasila sebagai dasar negara dan mengakui NKRI sebagai konsensus final yang tidak dapat diubah.