"Keyakinan"
oleh Kyai Ahmad Mustofa Bisri
Salah satu hak asasi manusia paling asasi adalah keyakinan. Kita bisa mengajak orang untuk meyakini apa yang kita yakini, tetapi tidak bisa memaksanya. Nabi Ibrahim as dengan segala kebijaksanaannya tidak bisa membuat ayahnya sendiri meyakini keyakinannya, meski keyakinan itu benar.
Nabi Luth as dengan segala kesantunannya tak mampu membuat istrinya mengimani apa yang diimaninya, meski keyakinan tersebut benar. Demikian pula, Nabi Nuh dengan segala kewibawaannya tak dapat membuat isteri serta anaknya beriman.
Sebaliknya, Firaun dengan segala kekuasan dan keganasannya tak mampu memaksakan kepercayaannya kepada Asiya, isterinya. (Lihat contoh yang diberikan Allah dalam Q 66: 10-11)
Mau contoh lagi?
Nabi Muhammad SAW dengan segala kearifan, kesantunan, kewibawaan, keamanahan; kefasihan, dan kasih sayangnya tak mampu membuat pamannya beriman. Bahkan, paman yang sekaligus tetangga dekat dan pernah berbesanan dua anak (‘Utbah Ibn Abdul ‘Uzza Ibn Abdul Mutholib atau yang dikenal dengan Abu Lahab pernah menjadi suami Ruqayyah, putri Nabi Muhammad, dan anaknya yang lain ‘Utaibah, menjadi suami putri Rasulullah lainnya, Ummi Kultsum. Keduanya menceraikan istri-istrinya atas perintah Abu Lahab) sangat memusuhi Nabi.
Ketika Nabi Muhammad SAW seperti hendak “memaksa” karena – dan dengan- kasih sayangnya yang agung, Allah yang mengutusnya justru memperingatkan: “Innaka laa tahdii man ahbabta, walaakinaLlaha yahdii man yasyaa...” Sungguh engkau tidak akan dapat memberi hidayah (membuat iman) orang yang engaku sayangi (sekalipun); tetapi Allah memberi hidayah kepada orang yang Ia kehendaki (Q 28:56).
Hidayah adalah hak prerogatif Allah. Kita hanya bisa mengajak orang meyakini kebenaran yang kita yakini benar. Tapi, apakah orang yang kita ajak tersebut terajak atau tidak, itu bukanlah di tangan kita. Apabila dengan kasih sayang saja Rasulullah SAW tidak mampu “memaksakan” keyakinan kebenaran, bahkan kepada orang yang paling dekat, apalagi pemaksaan dengan kebencian.
Sebagai orang Islam, saya wajib mengajak orang untuk meyakini kebenaran Islam. Mengajak ke jalan Tuhan yang Maha Esa. Dan Allah telah memberi arahan cara mengajak ke jalan-Nya. Yaitu, dengan hikmah, dengan bijaksana, dan nasihat yang baik. Bila perlu berbantahan, berbantah dengan cara yang lebih baik.
Tuhan lebih mengetahui tentang siapa yang sesat dari jalan-Nya. Apabila disakiti, membalas pun harus sama, tidak berlebih. Namun, apabila bersabar, justru lebih baik. (Baca Q 16: 125-126).
Saya tidak mungkin bisa mengajak dengan bijaksana apabila saya mengedepankan nafsu saya. Saya harus berpikir cermat agar ajakan saya tidak justru membuat orang lain lari dari jalan Allah. Satu dan hal lain, karena orang tidak hanya mendengar tuturan saya, melainkan lebih melihat kelakuan saya. Meski ajakan saya secara lisan benar dan baik, apabila perilaku saya tidak mendukung, apalagi berlawanan dengan ajakan saya itu, tentu malah cemoohan yang akan saya dapatkan.
Saya meyakini agama saya adalah agama yang benar, agama yang penih kasih sayang, rahmatal lil ‘aalamiin. Tetapi, saya tidak cukup hanya menggembar-gemborkan hal itu ke sana-ke mari, sedangkan perilaku saya justru tidak mencerminkan kebenaran, tidak mencerminkan kasih sayang sebagaimana yang dicontohkan pemimpin agung saya, Nabi Muhammad SAW.
Karena rahmat Allah, Nabi Muhammad SAW berperilaku lemah lembut kepada orang. Seandainya beliau kaku dan kasar budi, firman Allah, pastilah orang-orang akan lari menjauhi beliau (baca Q 3: 159). Dan, otomatis Islam pun akan dijauhi.
Syukurlah, Rasulullah SAW, seperti dicatat sejarah, adalah pribadi teladan yang benar-benar lemah lembut, penuh kasih sayang, pemurah, dan penuh perhatian. Beliau tidak hanya menebar cahaya kebenaran, tetapi juga menabur kasih sayang dan menyebar kedamaian. Kehadiran beliau benar-benar rahmatal lil ‘aalamiin.
Bagi orang Islam, terutama yang ingin mengajak ke jalan Allah dan memuliakan agama-Nya, tidak ada yang lebih baik daripada mengikuti jejak dan contoh Nabi Muhammad SAW. Dan, mengikuti jejak serta contoh Nabi Muhammad SAW kiranya tidak terlalu sulit bagi mereka yang benar-benar manusia, yang mengerti manusia, dan yang memanusiakan manusia. Sebab, Rasulullah SAW adalah manusia yang paling manusia, yang amat paham manusia, dan sangat memanusiakan manusia.
Karena itu, seandainya pun –dalam menegakkan kebenaran- beliau pernah membenci manusia yang tidak benar; tidak pernah kebenciannya membawanya untuk berlaku tidak adil sesuai firman Tuhan yang mengutusnya. (Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kalian orang-orang yang selalu menegakkan kebenaran karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan, jangan lah sekali-kali kebencian kalian terhadap sesuatu kaum mendorong kalian untuk berlaku tidak adil...” Q 5:8)
Saya membayangkan, beliau pasti bersedih jika melihat umatnya yang mengaku sangat mencintainya –dan dengan dalih membelanya- melakukan tindakan-tindakan yang sama sekali tidak pernah beliau ajarkan serta contohkan. Apalagi bila hal itu bisa mencoreng kemuliaan agamanya.