Al-Imta‘ fi Ahkam as-Sima‘: Kitab Ulama Syafii yang Menjelaskan Hukum Bermusik
Penulis: Mario Excel Elfand
Banyak dari kita yang meyakini bahwa mazhab Syafii melarang nyanyian dan musik. Namun, sebagaimana mazhab-mazhab lain, sebenarnya dalam mazhab Syafii pun terdapat perbedaan pandangan antarulama mengenai nyanyian dan musik. Salah satu ulama dari mazhab Syafii yang memperbolehkan hukum bermusik adalah Kamaluddin Abu al-Fadhl bin Tsa‘lab al-Udfuwi.
Di kutip dari bincangsyariah.com, Al-Udfuwi lahir di Idfu, Mesir, pada tahun 685 H (1286 M). Ia menulis sebuah kitab khusus yang memuat pembahasan tentang nyanyian dan musik secara lengkap dan komprehensif. Kitab itu berjudul Al-Imta‘ fi Ahkam as-Sima‘. Kitab itu terdiri atas dua bab. Bab pertama berisi tentang nyanyian, sedangkan bab kedua berisi tentang alat musik. Di dalam setiap bab ia memaparkan pendapat para ulama, baik yang mengharamkan, memakruhkan, maupun yang membolehkan, beserta dalil-dalilnya dari Al-Qur’an, hadis, ijmak, kias, serta pendapat para sahabat.
Di antara yang menarik dalam kitab ini adalah tanggapan Al-Udfuwi terhadap pandangan Imam Ghazali yang mengharamkan alat musik berdawai atas beberapa ilat. Menurutnya, ilat-ilat tersebut relatif tidak berlaku lagi. Ia menulis,
وقوله: (أن اللذة الحاصلة بها إنما تتم بشرب الخمر) ممنوع، بل تحصل اللذة الكاملة بمجرد السماع – إلى أن قال – وأما قوله: (إنها في قريب العهد تذكر مجالس الشراب)، فذلك إنما يقتضى المنع في حق من هذا حاله، فأما من ليس كذلك، أو كان ثم مضت مدة، وحسنت توبته، واستمر على الخير، لم تشمله العلة المذكورة، – إلى أن قال – وأما قوله: (إن الضرب بالأوتار شعار أهل الشرب): إن أريد الإختصاص بهم، فممنوع، وإن أريد أنهم يتعاطونه، فهم وغيرهم سواء، وليس كل شيء يفعله الفساق يحرم فعله على غيرهم – إلى أن قال – فإذا لم يصح خبر، وكان القياس التحلبل، وسمع جماعة من السلف، فلا إجماع ولا كتاب، فالإباحة هي المتجهة. (الإمتاع في أحكام السماع: 371–373)
“Perkataan Imam Ghazali bahwa kesedapan bunyi alat musik berdawai hanya dapat diperoleh secara sempurna dengan minum khamar tertolak. Justru kesedapan tersebut dapat dirasakan secara sempurna dengan hanya mendengarnya …. Adapun perkataannya bahwa alat musik berdawai dapat mengingatkan pada tempat-tempat minuman keras bagi yang terbiasa meminumnya, larangan ini hanya berlaku bagi orang-orang yang berada dalam keadaan tersebut. Bagi yang tidak demikian, atau pernah demikian di waktu lampau dan sudah bertobat dengan baik serta terus-menerus dalam kebaikan, ilat tersebut tidak berlaku untuknya …. Adapun perkataannya bahwa memetik senar adalah syiar para pemabuk, hal itu tertolak jika kita khususkan pada mereka. Jika yang kita maksudkan adalah mereka menggunakannya, sama saja antara mereka dan selain mereka. Tidak semua hal yang dilakukan oleh orang fasik haram dilakukan oleh selainnya …. Dengan demikian, apabila riwayat yang mengharamkannya tidak sahih, kias menghalalkannya, dan segolongan dari salaf mendengarkannya; maka yang cenderung lebih tepat adalah dibolehkan hukumnya.” (Al-Imta‘ fi Ahkam as-Sima‘, halaman 371–373)
Selain sebagai ahli fikih, Al-Udfuwi juga dikenal sebagai ahli sejarah. Ia menutup kitabnya dengan pembahasan para penyanyi dalam sejarah Arab beserta syair-syair yang mereka nyanyikan.
Kitab Al-Imta‘ fi Ahkam as-Sima‘ ini sangat penting untuk dikaji, khususnya pada zaman sekarang ketika musik sudah menjadi konsumsi khalayak umum dan tidak terbatas pada kalangan tertentu. Pada masa sekarang kita mendapati bahwa musik tidak selalu identik dengan keburukan, bahkan justru musik kerap dijadikan sebagai media untuk menyebarkan pesan dakwah dan tujuan-tujuan yang baik.
Al-Udfuwi wafat pada tahun 748 H (1347 M) di Kairo setelah pulang dari ibadah haji. Semoga Allah melimpahinya rahmat yang luas atas karya-karyanya.
Wallahu a‘lam.