Khilafah Bukanlah Sebuah Ideologi - HWMI.or.id

Thursday, 5 August 2021

Khilafah Bukanlah Sebuah Ideologi

KHILAFAH BUKAN IDEOLOGI

Oleh: Dahono Prasetyo

Khilafah adalah penyebutan kata kerja bentuk kepemimpinan dalam Islam, sedangkan sosok individunya disebut Khalifah yang berarti mewakili/mengatur/diberi mandat. Sejarah mencatat bahwa khilafah awalnya adalah istilah yang digunakan untuk sosok pemimpin pengganti seusai Nabi Muhammad SAW wafat. Mereka adalah Abu Bakar as-Shiddiq yang setelah wafat dilanjutkan Umar bin Khattab, lalu Utsman bin Affan yang terbunuh digantikan Ali bin Abi Thalib. 

Merekalah para Khulafaur Rasyidin yang artinya sebagai pemimpin pengganti setelah Rasulullah atas petunjuk Allah SWT untuk melanjutkan perjuangan dari Nabi Muhammad SAW menyebarkan ajaran Islam. Di bawah kepemimpinan mereka Agama Islam berkembang pesat dan sepeninggalan Ali bin Abi Thalib penyebaran Agama dilanjutkan oleh para ulama murid dan generasi penerus 4 sosok Khulafaur Rasyidin itu. 

Wilayahnya meluas ke seluruh wilayah Persia dari Irak, Turki, Suriah, Palestina, Afrika, Eropa Timur, Yerusalem, Mesir, Siprus, Iran, Afghanistan, hingga India dan sebagian besar wilayah Asia Tenggara. Wilayah penyebaran Islam bersatu dalam persatuan konsep Khilafah yang terbagi dalam beberapa dinasti yaitu Umayyah, Abbasiyah, Fathimiyyah, Ayyubiyyah, Buwaihiyyah, Muwahhidin dan Dinasti Khilafah Utsmaniyah. Para penguasa-penguasa Muslim dari berbagai wilayah menggunakan istilah Khilafah semata-mata untuk memperkuat legitimasi kekuasaannya. 

Negara-negara Khilafah tersebut kemudian membangun sistem sosial sendiri yang mengatur Agama dan Pemerintahan dalam satu kendali. Pemimpin wilayah sekaligus juga pemimpin Agama yang menjadikan Islam sebagai pedoman dalam kehidupan sesama. Mereka kadang memimpin secara bersamaan, namun tak jarang ada dinasti yang berjalan sendiri sesuai kepentingan kekuasaannya. Konflik internal antar Dinasti khilafah hingga pertumpahan darah menjadi permasalahan mereka dalam membina persatuan Islam dalam satu daulat. 

Satu persatu wilayah kekuasaan Khilafah menyusut akibat kekecewaan kaum Muslim sendiri pada para pemimpin dinastinya. Turki menjadi dinasti Utsmaniyah terakhir yang mampu bertahan, namun akhirnya harus menyerah akibat perang dunia pertama di awal abad 19. Secara defacto kejayaan Negara dalam konsep khilafah telah selesai, namun organisasi beserta pengikut setianya masih ada dan tersebar di berbagai Negara. Mereka melawan gerakan sekularisme (memisahkan kepentingan Agama dan Negara) dengan dakwah secara “bergerilya”. Konsep sekularisme ala Eropa secara otomatis menggerus kekuasaan monarki (kerajaan) seiring terjadinya Revolusi Industri yang menjadi awal peradaban dan persaingan baru antar negara maju. 

Asia Tenggara yang dahulunya menjadi pusat kerajaan besar Hindu dan Budha berhasil di-Islamkan oleh para ulama khilafah. Pulau Jawa yang terkenal memiliki budaya dan peradaban maju menyambut “Invasi Islam” melalui Wali Songo yang beberapa diantaranya adalah utusan ulama khilafah asal Arab dan Persia untuk menyebarkan Agama Islam secara damai. Celakanya invasi Agama di Nusantara bersamaan dengan masuknya Imperialis Eropa untuk menguasai sumber daya alam yang melimpah di bumi Kathulistiwa. 

Gerakan penyebaran Agama Islam mau tidak mau harus beradaptasi dengan situasi perebutan kekuasaan yang terjadi. Islam di Nusantara (sebelum menjadi Indonesia) “hasil karya” para Walisongo berbeda karakter pendalamannya ke-Islamannya dibanding negara asalnya. Islam di tanah Jawa adalah hasil persenyawaan budaya tradisi yang sudah ada dengan Teologi Islam. 

Sebagian besar wilayah Nusantara berhasil di Islamkan. Puncaknya ketika diproklamasikan kemerdekaan Nusantara menjadi negara bernama Indonesia, konsep menjadi Negara Islam menjadi perdebatan dramatis yang akhirnya memutuskan Indonesia bukan Negara Islam meskipun dalam ideologi negara Pancasila tercantum pengakuan kebebasan beragama menyatu dalam sila sila kehidupan bernegara. Para pendiri bangsa paham bahwa membentuk negara berdasarkan Agama teramat rentan terjadi konflik keyakinan sesama pemeluknya. Dalam menyikapi persaingan terbuka antar bangsa, kepentingan Agama adalah hak privasi setiap Individu yang terpisah dari urusan Pemerintahan. Namun dalam hak asasinya, Negara berkewajiban melindungi kepentingan beragama masyarakatnya.

Filosofi tersebut bukan tanpa pemikiran jauh ke depan. Bagaimana suksesi kepemimpinan di Turki yang sekuler dibawah Presiden Mustafa Kemal Atatürk (1923-1938) menjadikan negara perbatasan Asia dan Eropa itu disegani dan maju dalam perekonomiannya. Baru kemudian pada tahun 2014 Recep Tayyip Erdogan berhasil merebut kekuasaan dari rezim sekuler kembali ke konsep Negara Islam yang justru sarat konflik, kudeta dan pertumpahan darah.

 Revolusi Iran di tahun 1978 menjadi Negara Islam dibawah kekuasaan Ayatullah Khomeini berbuntut perang saudara dengan tetangganya Irak di tahun 1980 hingga 1988 yang memporak porandakan perekonomian kedua negara. Atau Suriah yang hancur lebur karena melawan invasi ISIS yang berkeinginan mendirikan Negara Islam.  Turki dan Iran adalah contoh 2 negara yang masih mencoba menganut ideologi penyatuan Agama dengan Pemerintahan yang pada akhirnya harus berhadapan dengan “ego” rakyatnya sendiri. Dan Suriah salah satu Negara yang justru hancur karena ambisi mengembalikan kejayaan khilafah.

Di Indonesia gerakan mengembalikan kejayaan khilafah mengalami pasang surut. Namun di negara yang sudah sepakat menjadi NKRI ini para pendukung khilafah terpecah menjadi 3 kelompok. Kelompok pertama menganggap sistem apapun selain khilafah sebagai thoghut dan berkeyakinan bahwa khilafah adalah sistem negara yang harus ditetapkan dalam negara yang mayoritas muslim. Kelompok kedua menerima sistem demokrasi dengan asas Pancasila dan menolak ide negara bersistem khilafah tapi menerima khalifah yang tertera dalam al-Quran dalam makna keagamaan tanpa makna politik. Kelompok ketiga adalah mereka yang menganggap khilafah dalam al-Quran adalah persoalan dalam lingkup pemikiran bukan syariat. Memposisikan manusia sebagai wakil Tuhan di bumi yang direpresentasi oleh Muhammad sebagai manifestasi Tuhan. Kelompok ini juga menganggap pemimpin pemerintahan hasil pemilihan secara demokratis mengatas namakan suara terbanyak tetap sah sebagai khalifah (yang diberi mandat) mengelola Negara, sehingga tidak perlu lagi membentuk negara khilafah

HTI yang sempat menjadi organisasi berideologi khilafah di Indonesia meski akhirnya dibubarkan, telah bergerak secara masif sebelum orde baru jatuh. HTI yang berafiliasi dengan organisasi khilafah dunia ingin mengembalikan kejayaan negara bersyariat Islam sebagai solusi menghadapi permasalahan peradaban dunia yang dirasakan telah menggerus akhlak dan keimanan umat. Jika merunut kronologis tulisan ini maka bisa disimpulkan bahwa HTI bukanlah paham khilafah yang sebenarnya. Karena ideologi khilafah dari awal tidak pernah membicarakan bentuk pemerintahan. Khilafah adalah konsep mulia penyebaran Agama Islam dan menjaga kesucian Al-quran terhadap perkembangan jaman. 

Kelompok Khilafah yang akan selalu ada dalam negara mayoritas muslim, namun bukan bisa membuat negara baru.

(Hwmi Online)

Bagikan artikel ini

Silakan tulis komentar Anda