Ke-Mu'tazilah-an Hizbut Tahrir: Allah Layaknya Investor - HWMI.or.id

Friday 24 September 2021

Ke-Mu'tazilah-an Hizbut Tahrir: Allah Layaknya Investor

KE-MU'TAZILAH-AN HIZBUT TAHRIR: ALLAH LAYAKNYA INVESTOR

Oleh Ayik Heriansyah

Ketika membantah kritikan terhadap Hizbut Tahrir bahwa Hizbut Tahrir berpaham mu'tazilah dalam membahas aqidah Islamiyah, para ustadz membantah dengan bantahan yang justru membenarkan kritikan tersebut. Misalnya soal qadla qadar.

Perbedaan mendasar Aswaja dengan Mu'tazilah dalam bab qadla qadar terletak pada konteks pembahasan. Aswaja membahasnya dalam konteks perbuatan Allah swt sedangkan Mu'tazilah dan Hizbut Tahrir memposisikan  qadla qadar dari perspektif manusia sebagai subjek. 

Ke-mu'tazilah-an Taqiyuddin an-Nabhani pengaruh dari arus pembaharuan pemikiran Islam (tajdid) yang diusung oleh trio Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh dan Rasyid Ridla. 

Membicarakan qadha qadar selalu menarik disela-sela kesibukan orang menjalani takdirnya. Menarik karena qadha qadar merupakan titik singgung antara perbuatan Allah swt dan perbuatan manusia.

Apa hakikat perbuatan Allah swt? Bagaimana hubungannya dengan perbuatan manusia? Apakah yang dialami manusia akibat dari perbuatan-Nya atau murni kreasi manusia?

Berbagai pendapat tentang qadha qadar telah dibukukan oleh ulama mutakallim (ahli Ilmu kalam/teologi) sejak dulu mewakili alirannya masing-masing. Dikuatkan dengan dalil-dalil yang terdapat di Al Qur’an dan hadits.

Ada tiga aliran utama mutakallimin: Qadariyyah, Ahlu Sunnah dan Jabariyah.

Taqiyuddin an Nabhani (pendiri Hizbut Tahrir) juga membahas kembali masalah qadha qadar di beberapa kitabnya. Di antaranya kitab Nizhamul Islam (Peraturan Hidup dalam Islam), Mafahim Hizbut Tahrir dan yang paling rinci di kitab Syakhsiyyah Islamiyah jilid 1. Ketiga kitab ini oleh Hizbut Tahrir dijadikan kitab resmi dan materi halaqah.

Berbeda dengan kakeknya Syaikh Yusuf an Nabhani yang bermadzhab Syafi’i dan ahlu tasawuf, Syaikh Taqiyuddin an Nabhani tidak bermadzhab. Beliau memiliki ushul fiqih sendiri yang berbeda dengan Imam madzahib.

Oleh pengikutnya beliau dianggap mujtahid mutlaq sekelas keempat Imam madzhab. Disamping itu beliau juga anti tasawuf.

Di kitab-kitabnya beliau menuding tasawuf khususnya tarekat sebagai biang kemunduran umat Islam. Sikap anti tasawuf dan tarekat Taqiyuddin an-Nabhani ini karena pengaruh dari pemikiran Jamaluddin al-Afghani.

Intelektualitas Taqiyuddin an-Nabhani tumbuh dalam suasana dimana pemikiran reformis Muhammad Abduh sedang menggeliat di Mesir. Sedangkan di Hijjaz pemahaman wahabi secara sistematis dipaksakan oleh pihak kerajaan.

Bersamaan dengan arus pemikiran sosialisme marxisme jadi simbol perlawanan terhadap penjajah Barat di kawasan Syam (Suriah, Jordania, Lebanon dan Palestina) dan Irak.

Sebelum mendirikan Hizbut Tahrir, tahun 1953, beliau menjadi aktivis partai sosialis di Palestina. Ketiga trend pemikiran inilah, reformisme, wahabisme dan sosialisme, yang mempengaruhi pemikiran Syaikh Taqiyuddin an Nabhani. 

Taqiyuddin an-Nabhani bukan Nabi yang ilmunya langsung dari wahyu, yang bukan dari hasil dari berguru, sehingga lumrah adanya ketika pemikiran Taqiyuddin an-Nabhani terpengaruh oleh arus pemikiran saat dia menuntut ilmu.

Secara ontologis Taqiyuddin an Nabhani membagi eksistensi menjadi dua, ruh dan materi. Ruh adalah kesadaran manusia akan hubungan dengan Allah swt (idrak silla billah).

Selain ruh, dianggap materi. Materi, segala sesuatu yang masuk dalam ruang dan waktu. Eksistensi supranatural yang populer di kalangan tasawuf seperti alam malakut, jabarut dan lahut dianggap tidak ada. Kalau pun ada, dianggap sebagai materi.

Potensi ruhiyah manusia seperti jenis-jenis nafsu (ammarah, lawwamah dan muthmainnah)- tingkatan-tingkatan kedalaman hati (qalb, fu’ad, shadr dan sirr) dan macam-macam akal juga dianggap tidak ada. Kalau pun ada, dianggap sebagai materi.

Ketika membahas qadha qadar, pengaruh sosialisme (humanisme dan materialisme) Taqiyuddin an Nabhani kentara sekali. Manusia sebagai subjek dan objek kehidupan yang bersifat materi.

Tatanan eksistensi (ontologi) makrokosmos di luar diri manusia bekerja berdasarkan suatu sistem (nizhamul wujud) yang sudah baku yang disebut sunnatullah menurut hukum alam sebab akibat (kausalitas). Seperti susunan bumi, planet-planet, gerakan benda-benda langit, dll (makrokosmos) termasuk wilayah yang tidak dikuasai manusia.

Apapun yang terjadi di makrokosmos manusia tak berdaya, pasrah menerimanya. Semuanya diyakini sebagai ciptaan Allah swt.

Allah swt juga menciptakan eksistensi mikrokosmos yaitu potensi yang terdapat dalam diri manusia berupa akal, kebutuhan hidup dan naluri keinginan (nafsu). Dengan akalnya manusia memenuhi kebutuhan hidup dan keinginan nafsu. Manusia memiliki wewenang untuk beraktivitas memenuhi kebutuhan dan keinginannya menurut akal.

Ini termasuk wilayah yang dikuasai manusia. Makrokosmos dan mikrokosmos bersifat materi.

Syaikh Taqiyuddin an Nabhani mengkritik pembahasan para mutakallimin semua madzhab karena mereka membahas qadha qadar sebagai realitas ghaib yaitu ilmu Allah swt tentang ketentuan nasib manusia yang tertulis di lauful mahfudz.

Lauful mahfudz kitab ghaib. Tidak seorangpun yang bisa membacanya. Membahas lauful mahfudz tidak produktif, sia-sia dan menguras energi umat.

Menurutnya membahas qadha qadar terkait ilmu Allah swt yang termaktub dalam lauful mahfudz tidak relevan dengan misi manusia sebagai pengemban syariat.

Syaikh Taqiyuddin an Nabhani tidak mau terjebak dalam polemik para mutakallim secara detail. Beliau kemudian membangun pemahamannya sendiri yang dinamakan pemahaman syar’i.

Pertama kali Beliau menginventaris ayat dan hadits yang berhubungan dengan perbuatan manusia. Terbagi dua yaitu ayat dan hadits yang menunjukkan makna perbuatan manusia adalah ciptaan Allah swt dan perbuatan manusia murni hasil kreasi manusia itu sendiri. 

Terjadi kontradiksi. Syaikh Taqiyuddin an Nabhani tidak melakukan upaya jam’u (mengabungkan) dan tarjih (mengunggulkan salah satu) atas pemahaman mutakallimin terhadap kedua jenis ayat ini.

Berangkat dari pengaruh arus pemikiran pembaharuan Islam dan sosialisme di Arab, Taqiyuddin an Nabhani mengalihkan pembahasan qadha qadar dari masalah ilahiyah menjadi masalah insaniyah. Dari perkara bab i’tiqad menjadi bab syariat.

Pembahasan Beliau berawal dari manusia. Manusia sebagai subjek dan objek alam semesta dilingkupi oleh eksistensi di luar dirinya (makrokosmos) dan potensi yang ada dalam dirinya (mikrokosmos). Kejadian di alam makrokosmos mengikuti hukum alam (sunnatullah) tanpa pengaruh manusia.

Manusia tidak terlibat dalam setiap peristiwa di alam makrokosmos. Dan manusia tidak bisa mengelak kejadian makrokosmos yang menimpa dirinya.

Karena itu manusia tidak dihisab pahala dan dosa terkait peristiwa yang menimpanya. Ini yang dimaksud dengan qadha. Alam makrokosmos dan hukum alam semuanya ciptaan Allah swt. Mengimani hal ini disebut iman kepada qadha Allah swt.

Sedangkan potensi dalam diri manusia seperti akal, naluri dan kebutuhan hidup termasuk wilayah yang dikuasai manusia. Manusia bisa mengupayakan pemenuhan kebutuhan dan keinginan berdasarkan akalnya dengan memanfaatkan khasiat (kegunaan) suatu benda. Misalnya pisau berkhasiat memotong, api berkhasiat membakar, dll.

Potensi diri manusia dan khasiat benda-benda disebut qadar. Allah swt yang menciptakannya. Mengimani hal ini disebut iman kepada qadar Allah swt. Ketika manusia berusaha memenuhi kebutuhan hidup dan keinginan naluriahnya, manusia dengan akalnya bisa memilih khasiat benda apa yang akan digunakan. Manusia tidak dipaksa.

Kemudian secara syar’i apakah perbuatan manusia itu sesuai dengan ketentuan syariat atau tidak? Jika sesuai maka manusia mendapat pahala, jika tidak, berdosa. Karena itu manusia dihisab pahala dan dosanya.

Menurut Taqiyuddin an Nabhani perbuatan manusia di wilayah syariat murni hasil kreasi manusia. Tidak ada pengaruh dari perbuatan Allah swt yang memaksanya.

Allah swt memang mengetahui perbuatan manusia sebagaimana yang tercatat di lauful mahfudz, namun pengetahuan Allah swt tidak berpengaruh terhadap perbuatan manusia.

Hubungan Allah swt dengan manusia seperti investor dengan pekerja. Sebagai investor Allah swt yang memberi modal kerja berupa potensi diri manusia, khasiat benda-benda dan aturan mainnya. Manusia tinggal bekerja menjalani kehidupan.

Nanti di akhirat waktunya hitung-hitungan pahala dan dosa. Selama manusia menjalani kehidupan, Allah swt hanya menonton. Tidak punya pengaruh terhadap perbuatan manusia. 

Pemahaman Taqiyuddin an-Nahbani ini mirip dengan penjelasan Muhammad Abduh. Dengan demikian akhirnya Taqiyuddin an Nabhani hanya mengulangi kekeliruan kalangan mu’tazilah ketika membahas qadha qadar.

Wallahu’alam bi shawab.

(Hwmi Online)

Bagikan artikel ini

Silakan tulis komentar Anda