Oleh: Faizatul Ummah in Suara Kita
Radikalisme Mengatasnamakan Agama : Sejarah Masa Lalu dan Masa Kini
Radikalisme Mengatasnamakan Agama : Sejarah Masa Lalu dan Masa Kini
Memahami agama secara kaku, literal dan tekstual menjadi ciri khas kelompok radikal. Jihad, misalnya, dipahami sebagai aktivitas membunuh penganut non Islam. Bahkan, pemeluk Islam sendiri jika berbeda penghayatan tentang ajaran Islam harus dibasmi. Cara pandangnya sangat fundamentalistik dan fanatik. Sekalipun perbedaan paham itu dalam ruang furu’iyyah, ruang ijtihad yang memang menampung ragam penafsiran dan perbedaan.
Menuntut persamaan paham yang serba terbatas itu yang mendorong mereka berani bertindak fatal. Seperti bom bunuh diri yang rela mengorbankan nyawa, bahkan nyawa orang lain sekalipun, diyakini sebagai sesuatu yang afdal dan istimewa. Tidak ada kata gagal disana, justru teladan untuk ditiru. Bom bunuh diri, bagi teroris, diasumsikan sebagai tindakan yang agung dan mulia.
Bahasa suci dengan iming-iming keagungan, kemuliaan dan sorga memantik tekad tindakan di luar nalar dan pengabaian terhadap nalar keagamaan. Pengaruh bahasa suci atau tepatnya indoktrinasi radikalisme memiliki daya pengaruh hebat, terutama orang-orang yang memahami teks-teks keagamaan sangat dangkal. Karenanya, terorisme tidak pernah mati. Selalu ada dari masa ke masa. Sejak masa Nabi, sahabat sampai masa kita sekarang ini.
Sejarah Radikalisme dan Terorisme dalam Islam
Sejarah hitam radikalisme dan terorisme dalam Islam akarnya telah ada sejak masa Nabi. Adalah Dzul Khuwaishirah yang menganggap diri paling baik dan paling berhak mendapatkan bagian harta rampasan perang Hunain. Ia, lalu mengkritik Nabi dengan sebutan tidak adil. Musababnya, karena Nabi membagikan rampasan perang kepada non muslim yang diharapkan menjadi penganut agama Islam. Dikemudian, hari orang ini menjadi pelopor yang melahirkan generasi Khawarij.
Korbannya adalah khalifah kedua, Umar bin Khattab. Disaat Umar bin Khattab hendak menjadi imam shalat subuh, terlebih dulu khalifah menunjuk beberapa orang untuk meluruskan shaf. Setelah barisan jamaah lurus, shalat subuh kemudian dimulai sebagaimana biasa. Naas, tak lama berselang dari takbiratul ihram, seorang laki-laki yang berada di shaf pertama, dibelakang Khalifah Umar, dengan cepat bergerak menikam khalifah pengganti Abu Bakar tersebut. Sayyidina Umar meninggal akibat luka-luka di perutnya. Pelakunya adalah Abu Lu’lu’ah Fairus. Laki-laki berkebangsaan Persia, budak Al Mughirah bin Syu’bah. Seorang Khawarij regenerasi Khuwaishirah.
Nasib serupa menimpa khalifah ketiga. Pengganti Umar bin Khattab, Usman bin Affan juga dibunuh kelompok teroris. Sekelompok kaum radikal memberontak dan mengepung rumah khalifah selama empat puluh hari. Para ekstremis berhasil menerobos masuk rumah dan kemudian membunuh Usman bin Affan yang sedang membaca al Qur’an.
Hal yang sama dialami oleh Sayyidina Ali, khalifah keempat yang menggantikan Usman bin Affan. Ali, sepupu sekaligus menantu Nabi, dibunuh oleh seorang muslim radikal bernama Abdurrahman ibnu Muljam. Padahal, pembunuh seorang hafidz (penghafal al Qur’an), ia juga terkenal sebagai muslim yang taat. Pada masa Khalifah Umar, ia pernah diutus ke Mesir untuk mengajar al Qur’an. Tindakan nekad Abdurrahman ibnu Muljam karena pengaruh paham radikal Khawarij. Menurutnya, Khalifah Ali tidak mendasarkan sistem kekhalifahan berdasarkan al Qur’an.
Tiga khalifah menjadi korban terorisme. Para pembunuh semuanya penganut agama Islam yang ekstrim dan radikal. Radikalisme telah merenggut tiga khulafaur rasyidin, sahabat senior yang belajar agama Islam langsung kepada Rasulullah. Heran, tentunya ia, bagi muslim yang tidak berotak reptil pembunuhan tiga khalifah rasanya tidak masuk akal. Karena, tiga orang khalifah tersebut merupakan sahabat utama Nabi yang memiliki pemahaman tentang agama secara sempurna.
Kini, fenomena seperti itu terus berulang. Pembunuhan atas nama agama selalu menggeliat menebar ancaman dan kegelisahan. Indonesia, sebagai negara yang mayoritas penduduknya beraga Islam juga selalu dibayang-bayangi ketakutan terhadap radikalisme dan terorisme. Keragaman menjadi sumber energi kelompok radikal mencari korban. Isu-isu sorga dan tentang bidadari.
Melihat Keragaman Indonesia dalam Pusaran Radikalisme
Keragaman di Indonesia jelas menjadi lahan subur tumbuhnya radikalisme dan terorisme. Teroris, awalnya memiliki sikap intoleran, lalu radikal, kemudian menjadi teroris. Keanekaragaman agama, ras, suku dan golongan yang mendiami Indonesia berpotensi memicu tumbuhnya pemikiran fundamentalistik dan fanatik. Menjadi daya tarik tersendiri bagi kaum radikal. Awalnya, adalah adu domba, kemudian konflik direncakan secara rapi. Setelah itu, mudah bagi mereka mencari calon pengantin untuk bom bonuh diri. Terorisme pun telah bercokol di negara kita. Ini bukan ilusi, tapi fakta. Telah banyak kasus terorisme yang mengguncang Indonesia.
Indonesian darurat radikalisme? Telah lama itu terjadi. Apa solusinya? Kampanye menanamkan ide-ide moderasi beragama, ide-ide pluralisme dan menjelaskan bahwa islamisasi Nabi ke segala penjuru tidak pernah menyertakan apa yang disebut kekerasan, radikalisme dan terorisme. Bahwa, jihad yang dilakukan Rasulullah hanya dalam upaya mempertahankan gangguan terhadap agama dan negara. Itupun kalau diserang. Jika ada fakta sejarah beliau menggerakkan tentara keluar dari Madinah, semata untuk mempertahankan marwah agama. Sebab, bertahan dari musuh tidak selalu harus berada dalam benteng.
Ide pluralisme merupakan prinsip universalitas ajaran Islam. Sikap saling menghargai, mengakui eksistensi identitas orang lain, menghormati, dan harmonisasi adalah pengejawantahan dari nilai-nilai ajaran Islam. Titah Allah menegaskan demikian. Sangat mudah bagi-Nya untuk menciptakan semua manusia dalam satu ragam. Tapi, Dia tidak menginginkan yang demikian. Maka, pluralisme merupakan sunnatullah yang harus diakui, diimani dan diterima sebagai kenyataan yang tak terbantahkan.
Yang perlu kita ketahui adalah, radikalisme dan terorisme tak lain hanya trik orang-orang yang tidak menginginkan kedamaian terjadi di bumi. Pelakunya berkamuflase menjadi penganut agama tertentu untuk memanfaatkan pemeluk agama sejati menjadi teroris. Tegasnya, pelaku terorisme adalah korban yang dibodohi.
Hal ini seperti dikatakan oleh Sayyidina Ali pada saat kelompok radikal membentangkan spanduk bertuliskan kalimat dua syahadat. Ali berkata, “Mereka sesungguhnya kelompok kafir dan orang-orang munafik yang menunggangi Islam untuk memuaskan hawa nafsunya. Mereka adalah musuh Allah dan rasulNya”.