Ada fenomena seorang kiai, karena ia hanya mengelola mushalla kecil dilabeli sebagai kiai kecil. Sedangkan kyai yang menjabat secara struktural di ormas-ormas besar banyak muhubbinnya distempel sebagai kiai besar yang top, hanya gara-gara jabatan yang ia sandang.
Ada sebuah "hadist" yang jarang diungkap :
رب أشعث، مدفوع بالأبواب لو أقسم على الله لأبره
"Banyak orang yang rambutnya semrawut, (compang-samping), ditolak masuk ke pintu-pintu masyarakat (karena dianggap remeh), namun orang itu jika bersumpah atas nama Allah, pasti Allah mengabulkan permintaannya.”
(HR. Muslim).
Cerita Uwais al Qarni yang masyhur. Saking zuhud-nya Uwais tidak pernah berani mempunyai pakaian hingga dua helai karena ia "khawatir", jangan-jangan kalau ia mempunyai pakaian dua helai, sedangkan ada orang lain yang sampai tak punya pakaian sama sekali, ia kelak akan dihisab karena itu.
Sebab standarnya, jika ada orang tidak mempunyai pakaian, di sisi lain tetangganya ada orang yang mempunyai pakaian lebih dari kebutuhannya, harus diberikan. Kalau tidak maka akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah (hisab).
Berbeda kalau punyanya hanya pakaian satu saja. Walaupun dari sumber harta syubhat sekalipun, akan tetap halal, tidak terkena hisab. Sebab ia berpakaian semata-mata untuk menutup aurat yang hukumnya wajib. Dalam keadaan darurat untuk menjalankan kewajiban menutup aurat, seumpama memakai harta haram sekalipun diperbolehkan, karena darurat.
Makan juga begitu. Uwais al Qarni itu tidak mau makan kecuali kalau tidak makan, akan mati.
Seumpama terpaksa yang ia makan itu haram akan menjadi halal karena memang dalam keadaan darurat. Jika lebih dari itu, terkena hisab.
Dapat diambil kesimpulan bahwa profil Uwais al Qarni di mata masyarakat tidak terkenal, namun namanya tenar di mata penduduk langit. Dengan begitu, kiai kecil atau kiai besar tidak bisa diukur oleh pandangan masyarakat secara kasat mata. Karena masing-masing bukan berdasar kealiman atau pengikutnya, tapi ketakwaannya.
ان أكرمكم عند الله أتقداكم
"Sesunggunya yg paling mulia kalian di sisi Allah adalah kalian yg paling taqwa.”
(Qs Hujurat: 13)
Dengan begitu, dalam pandangan tasawwuf, kita tidak bisa memeta-metakan kiai besar, kiai kecil jika mengacu bagaimana kedudukan mereka di sisi Allah. Kecuali pada ranah kredibilitas dan kapabilitas keilmuan. Kita baru bisa menilai kapasitas keilmuan seseorang dengan parameter atau patokan yang sudah ditentukan oleh para ulama sehingga kita bisa ambil mereka sebagai rujukan masalah agama.
Namun jika menyangkut mana yang paling mulia di sisi Allah, tidak ada yang bisa mengklasifikan mana yang besar mana yang kecil.
Abu Dzar al-Ghifari meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda :
“Menghadiri majelis orang alim lebih utama daripada salat seribu rakaat, menjenguk seribu orang sakit dan menghadiri seribu jenazah.”
Kemudian Abu Dzar bertanya, “Bukankah membaca Al quran lebih utama dari majelis orang alim?"
Nabi menjawab dengan lugas dan bijaksana, “Apakah membaca Alquran berguna tanpa ilmu?”.
Di antara sabda Nabi adalah, “Orang pandai (alim) adalah kepercayaan Allah di muka bumi, (Ada penyebutan riwayat dimana ahli ibadah masuk surga sendirian, sementara ahli fiqih bisa memberi syafa'at kepada yang lain).
"Ada seorang yang bertanya kepada Nabi tentang ahli ibadah dan ahli fiqih، mana yang lebih utama?
Nabi menjawab: “Seorang ahli fiqih (ilmu) itu lebih utama di sisi Allah dari seribu ahli ibadah.”
Rasulullah bersabda :
إذا كان يوم القيامة يقول الله تعالى للعابد : ادْخل الجنة , فإنما كانت منفعتك لنفسك , ويقال للعالم: اشفع تشفع , فانما كانت منفعتك للناس
“Di hari kiamat kelak, Allah berfirman kepada ahli ibadah: masuklah ke dalam surga, karena ibadahmu bermanfaat untuk dirimu sendiri.
Namun kepada seorang alim dikatakan: “Beri syafaat kepada yang lain, karena selama ini engkau telah memberi manfaat kepada orang lain.”
Hal ini jelas menunjukkan derajat orang pandai (alim), ulama, dan cendekiawan sangat terhormat di sisi Allah, sehingga dikategorikan sebagai pemberi syafaat. Padahal, tidak semua malaikat diperkenankan memberi syafaat sesuai dengan firman Allah :
“Dan betapa banyak malaikat di langit yang syafaatnya tidak berguna sedikit pun, kecuali sesudah Allah mengizinkan bagi orang yang dikehendaki dan diridai-Nya.”
(Qs An Najm 26).
Penulis : Musa Muhammad