Buya Syakur; Siapa Bilang Musik Itu Haram? - HWMI.or.id

Wednesday, 4 August 2021

Buya Syakur; Siapa Bilang Musik Itu Haram?

Buya Syakur; Siapa Bilang Musik Itu Haram?

Penulis: Zainuddin Lubis 

Jagat media sosial dibuat waduh. Terjadi pro dan kontra di tengah-tengah nitizen. Sebagian mendukung; itu perbuatan haram.  Wajib dihindari. Yang lain kontra—menganggap argumen itu ngawur. Lantas menyalahkan si pembuat heboh, karena salah memilih pembimbing spiritual.

Apa musabab kehebohan? Seorang mantan musisi Indonesia. Keluar dari Band terkenal dan masyhur. Pemuda hijrah. Meninggalkan kehidupan lama sebagai musisi. Menjalani kehidupan baru sebagai manusia hijrah. Mohammad Kautsar Hikmat, akrab disapa Uki, eks Gitaris Noah.

Mantan musisi ini menyebutkan musik haram. Sehingga musik harus dijauhi. Tak sampai di situ, sebagaimana dikutip dari Suara.com,  meskipun uang yang dihasilkan dari musik itu banyak, tapi tak bisa dipergunakan untuk bersedekah. Pasalnya, mendapatkan uang dari hal haram.

Di kutip dari laman bincangsyariah.com menurut Buya Syakur, terdapat fenomena di kalangan masyarakat Indonesia, generasi  Islam yang terlalu berani mengharamkan  sesuatu. Standar hukum pengharamnya pun cukup unik, yakni implementasi Islam di abad ke-VII ketika masa Nabi Muhammad dan sahabat-sahabat beliau. Itulah standar hukum.

Buya Syakur, ketika ditanya tentang hukum “gitar”, maka orang tersebut sibuk melihat antropologi, arkeologi, dan teks-teks yang merujuk pada masa Nabi dan sahabat. Nah, bila setelah ditelisik “gitar” itu  tidak ada pada masa Nabi, maka itu haram.

Pada soal lain, misalnya ketika membahas masalah “gendang”, dibuka kembali teks, antropologi, arkeologi, dan ilmu lain yang standarnya masa Nabi dan sahabat. Ternyata “gendang” ada masa nabi, maka itu halal. Itulah satu pandangan satu kelompok dalam Islam; bila ada pada masa Nabi halal, bila tidak ada, haram.

Sejatinya, yang berhak berhak mengharamkan itu hanya Allah, manusia tidak boleh mengharamkan, karena hak prerogatif Allah. Nabi Muhammad saja tidak diberi hak  untuk mengharamkan. Nabi hanya diperbolehkan yang sifatnya menyuruh dan melarang. Pada suatu kali Nabi itu mengharamkan hukum, kemudian langsung ditegur oleh Allah. Allah berfirman Q.S at Tahrīm ayat 1;

          يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّبِىُّ لِمَ تُحَرِّمُ مَآ أَحَلَّ ٱللَّهُ لَكَ ۖ تَبْتَغِى مَرْضَاتَ أَزْوَٰجِكَ ۚ وَٱللَّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ

Artinya: Hai Nabi, mengapa kamu mengharamkan apa yang Allah halalkan bagimu; kamu mencari kesenangan hati isteri-isterimu? Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang

Musik dalam Pandangan Buya Syakur

Selanjutnya Buya Syakur menceritakan kisah Nabi dan juga seorang musisi. Nabi Daud, seorang utusan Allah, sekaligus musisi. Seorang yang lihai memainkan alat musik, Harfa. Nabi Daud juga memberikan nafkah keluarga dengan memainkan harfa.

Suatu waktu Raja sedang sakit.  Dalam sakitnya itu raja memerintahkan pengawal untuk memanggil Nabi Daud. Nabi Allah ini diundang ke istana kerajaan. Nabi Daud, datang untuk disuruh untuk menyanyi. Menikmati keindahan dan kemerduan suara Nabi Daud. Berkat mendengar suara indah itu, sang raja pun akhirnya sembuh.

Pada hakikat musik sifatnya memperhalus rasa. Musik juga menimbulkan cinta dan kasih. Dalam rasa akan timbul welas dan asih, terhadap sesama. “Kalau lagunya Bimbo, lagunya Chrisye, pun begitu juga lagu  Ebit G. Ade yang menyentuh rasa kok diharamkan sih , enggak mungkin dong,” kata Buya Syakur melalui kanal Youtube KH Buya Syakur Yasin MA.

Mendengar musik merasakan kenikmatan tersendiri, bukan menjauhkan dari Allah bahkan mendekatkan pada Ilahi. Dalam ayunan musik kita tersadar betapa Maha Hebat Allah. Pun ketika  membaca Al-Qur’an dengan suara indah; tajwid, nada, qiraat sab’ah, yang merdu. Nabi dalam sabdanya sendiri menganjurkan kesenian dalam membaca Al-Qur’an. Nabi Muhammad bersabda;

حسِّنوا القرآنَ بأصواتِكم فإنَّ الصوتَ الحسنَ يزيدُ القرآنَ حُسْنًا

Artinya; baguskan Al-Qur’an dengan suara kamu, maka sesungguhnya suara yang bagus menambahkan kebaikan Al-Qur’an.

Meski demikian, menurut Buya Syakur, ada pelbagai lagu dan nyanyian yang perlu untuk dikritisi. Imbasnya, terkadang konten yang dihadirkan dalam sebuah lagu memancing untuk memperbuat keburukan. “Jadi mungkin konten dan liriknya diperbaiki. Lagu seperti Kucing Garong, terus apalagi Belah Duren, Keong Racun , ya mungkin lagu itu dilarang karena itu merusak rasa,” tambah Buya Syakur.

Terkait stigma, musik itu pintu maksiat dan ladang maksiat, menurut Buya Syakur itu perlu diperdebatkan. Ladang maksiat bukan saja di musik. Bisa dalam pelbagai tempat. Terkadang ada orang yang datang ke majelis taklim, bukan untuk sekadar mengaji, tetapi untuk ghibah, dengki, pamer, dan menyomobongkan diri. Pun tak terhitung orang yang datang ke masjid, bukan untuk beribadah. Justru, misalnya untuk mencuri sendal, kotak amal, dan agar terlihat alim.

Pada sisi lain, dalam masa kejayaan Dinasti Umayyah II di Spanyol, seni musik berkembang pesat di Cordoba.  Orang Islam Cordoba bukan hanya mahir dalam arsitektur, tetapi masalah musik , sastra, kuliner dan pashion. Cordoba  menjadi sentra lahirnya para sastrawan dan penyanyi top. Banyak orang Inggris dan Prancis banyak belajar musik dari orang Islam.

Demikian penjelasan hukum musik dari Buya Syakur. Semoga bermanfaat

(Hwmi Online)

Bagikan artikel ini

Silakan tulis komentar Anda