Inilah 5 Modus Dakwah yang Harus Diantisipasi Para Dai NU - HWMI.or.id

Saturday 7 August 2021

Inilah 5 Modus Dakwah yang Harus Diantisipasi Para Dai NU

Inilah 5 Modus Dakwah yang Harus Diantisipasi Dai NU

Ada lima modus dakwah yang dilakukan oleh kelompok di luar NU yang harus segera diantisipasi. Para dai nahdliyyin, diharapkan mengerahkan seluruh kemampuan intelektualnya, untuk menandingi wacana yang dikembangkan kelompok yang selalu mengajak pada tindakan radikal. Lima modus itu dikemas sedemikian rupa sehingga membuat umat kehilangan pegangan dalam memahami Islam yang rahmatan lil alamin. Bahkan umat juga kehilangan sosok Rasulullah yang pengasih dan penyayang.

Hal itu disampaikan oleh Prof KH Nadirsyah Hosen dalam Webinar Internasional tentang dakwah yang diselenggarakan oleh LD PWNU Jawa Barat, Selasa (15/12). Webinar ini disiarkan secara langsung oleh NU Jabar Channel.

“Mereka dengan sengaja membenturkan konsep tawassuth, tawazun dan tasamuh dengan metode itu. Para dai NU tidak boleh lagi main aman, tapi harus terjun menjelaskan dalil-dalil yang mereka pakai agar umat tidak bingung,” jelas Rais Syuriyah PCINU Australia dan New Zealand itu.

Kelima modus itu adalah; pertama, membenturkan ayat. Alquran itu mengundang penafsiran yang berbeda. Ada ayat makkiyyah dan ada ayat madaniyyah. Ada nasakh dan mansukh. Ada juga ayat yang membuka ruang untuk munculnya perbedaan pendapat. Sekalipun demikian, kita yakin tidak ada yang kontradiksi dalam Alquran. Sementara kiai NU menyampaikan ayat tentang Rasulullah sebagai rahmat bagi semua alam, mereka sengaja memunculkan ayat-ayat yang bernuansa kekerasan, misalnya asyiddau alal kuffar ruhamau bainahum.

“Para dai kita harus masuk pada wilayah ini. Jangan hanya menyampaikan ayat-ayat yang baik-baik saja. Ayat-ayat yang multi-tafsir seperti ini juga harus dijelaskan. Harus berani menjelaskannya di mimbar Jumat dan majelis taklim, karena mereka sudah melakukannya,” jelas Gus Nadir.

Kedua, memilih ayat atau hadits dalam situasi perang untuk diterapkan dalam situasi damai saat ini. Misalnya penjelasan tentang Nabi Muhammad berperang dan membunuh orang kafir. Dai NU tidak boleh menghindar dari perdebatan semacam ini, tetapi harus masuk di dalamnya.

“Dai NU harus berani menjelaskan bahwa ayat dan hadits dalam situasi perang itu tidak bisa diterapkan dalam situasi damai seperti di Indonesia,” tegas dosen Monash University itu.

Ketiga, mereka gemar mengutip hadits yang mengisahkan Rasulullah mencela, melaknat, bahkan memerintahkan pembunuhan, untuk melegitimasi tindakan pribadinya. Sementara dai NU sebaliknya, selalu menggambarkan sosok Nabi yang welas asih dan bertoleransi kepada non-muslim.

“Sikap mereka yang suka caci-maki dan menyerang kanan-kiri, itu dicarikan rujukannya dari hadits-hadits Rasulullah. Ini sangat menyedihkan. Citra Rasulullah yang begitu agung, diruntuhkan oleh mereka hanya untuk membenarkan tingkah lakunya saat ini,” paparnya.

Memang diakui Nadir, riwayat semacam itu ada. Oleh sebab itu, ia mengajak para dai NU untuk menanggapi riwayat-riwayat seperti itu dengan jarh wa ta’dil, naqd sanad, melacak matan, dan semua yang diajarkan dalam ilmu musthalah hadits. 

Selain mengutip hadits Imam Bukhari, menurut Nadir, dai NU harus menelaah juga Fathul Bari karya Ibnu Hajar Al-Asqalani. Selain mengutip dari Sunan Abi Dawud, harus juga menelisik Aunul Ma’bud ala Sunan Abi Dawud karya Muhammad Syamsul Haq. 

“Cara ini harus digunakan, untuk membersihkan citra Rasulullah yang saat ini semakin didegradasi oleh narasi-narasi kebencian,” tegasnya.

Keempat, menasakh ayat-ayat rahmah dengan satu ayat saif. Ratusan ayat tentang dakwah yang di antaranya menjelaskan bahwa Nabi itu ramah dan toleran, dinasakh begitu saja dengan satu ayat saif (ayat pedang/perang). Para dai NU harus mampu menjelaskan problematika tentang ayat saif ini. Menyampaikan bagaimana ragam pendapat para ulama tentang ayat ini.

“Jika tidak bisa menjelaskan maksud ayat ini, maka penjelasan ratusan ayat lain tentang keramahan Nabi, akan hilang begitu saja dengan satu ayat ini saja. Dan di tingkat umat paling bawah, jualan ayat saif ini sangat laku,” ingatnya.

Kelima, sengaja memenggal fragmen kisah sahabat Nabi, untuk menjustifikasi tindakan kekerasan. Salah satu yang populer adalah kisah sahabat Nabi bernama Abi Sarah.

Dikisahkan bahwa ia dianggap melecehkan Alquran dan Nabi mengeksekusinya sebelum Fathu Makkah. Dengan mengangkat riwayat ini, mereka ingin menegaskan bahwa yang menghina Alquran atau ajaran Islam, itu harus dibunuh.

Ternyata riwayat sebenarnya, setelah ditelisik Nadir, tidaklah seperti itu. Abi Sarah tidak pernah dieksekusi. Justru pada saat Fathu Makkah itu Rasulullah memaafkannya atas saran dari sahabat Utsman bin Affan. Ia kemudian ikut memperjuangkan Islam, menjabat gubernur dan wafat saat sedang salat subuh.

“Jadi ceritanya belumlah lengkap disampaikan, tetapi sudah dipenggal dan disebarluaskan,” simpulnya.

Gus Nadir melihat ada aktor intelektual di balik pemenggalan riwayat seperti ini. Abi Sarah ini bukanlah sahabat yang populer. Artinya, lanjut alumni NUS ini, ada orang-orang pintar di kalangan mereka yang sengaja memperoduksi cerita-cerita ini dan memenggalnya, untuk kepentingan mereka.

“Jelas mereka bukan orang bodoh. Mereka tahu cerita ini dan sengaja memenggalnya,” jelas Nadir.

Mereka secara selektif memilih cerita para sahabat dan membuat distorsi untuk membuat umat di tingkat bawah tidak paham dan terkecoh.

“Para dai NU harus memahami modus mereka, agar umat ini bisa dijaga dalam koridor tetap ummatan wasathan. Agar kita semua bisa menjadi khaira ummah,” pungkasnya.

Artikel ini juga tayang di NU Online Jabar satu tahun yang lalu, masih relevan hingga saat ini

(Hwmi Online)

Bagikan artikel ini

Silakan tulis komentar Anda